Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Intervensi Militer Terhadap Politik Thailand (studi Kasus: Kudeta Tahun 1991 Dan 2006)

This paper aims to explain how and why the military had a consistent influence in Thailand's politics since the 1990s, by explaining two specific casual explanation at the intervention on 1991 and 2006. A comparative analysis is used to explain

   EMBED


Share

Transcript

  Intervensi Militer Terhadap Politik Thailand (Studi Kasus: Kudeta tahun 1991 dan 2006) Arita Gloria Zulkifli   1306460961  Abstract This paper aims to explain how and why the military had a consistent influence in ThailandÕs  politics since the 1990s, by explaining two specific casual explanation at the intervention on 1991 and 2006. A comparative analysis is used to explain the extention of ThailandÕs military involvement, before and after both two coups. Referring to a journal written by Katsamaporn  Rakson, this paper will review the militaryÕs role in ThailandÕs political system by seeing the cause of military intervention, then to describe the pattern of the military interventions in 1996 and 2006 coups, and analysing the difference of bothÕs coups.  Keywords: Thailand military, coups, military intervention, democracy. Pendahuluan Hubungan militer dan sipil merupakan suatu permasalahan klasik yang acap terjadi banyak negara, terutama di negara dengan kriteria dan kondisi sosial politik dan ekonominya cenderung tidak stabil. Dalam keadaan pemerintahan sipil tidak lagi mampu mengelola permasalahan negaranya, militer cenderung untuk masuk dalam politik demi menstabilkan keadaan. Sikap militer dalam intervensi politik berkaitan dengan perilaku pemerintah sipil dalam menjaga negara. Jika  pelanggaran pemerintahan sipil itu kekuatan yang mengarah ke penghancuran pemerintahan, motivasi militer untuk campur tangan dalam politik semakin menguat.   Dasar dari keterlibatan militer Thailand dalam politik merupakan akibat dari pengakuan militer sebagai wali negara serta melaksanakan kepentingannya dalam menjaga baik negara maupun  perusahan dari angkatan bersenjata. Alasan yang menjadikan Thailand terus mempertahankan kebijakan intervensi pemerintahan selama beberapa dekade adalah keyakinan bahwa sentralitas dari lembaga-nya kuat untuk melindungi negara dari rasa ketidak aman-an. Militer Thailand mendefinisikan dirinya sebagai lembaga Thailand yang paling terorganisir, dan lembaga yang 1   paling disiplin sejak revolusi tahun 1932. Di Thailand, pemikiran bahwa militer merupakan Ôtulang  punggung negaraÕ merupakan pemikiran yang masih tetap kuat. Dengan dibawah konsep respect, 1 deference and loyalty to superiors , atau konsep hormat, keseganan dan kesetiaan pada atasan, militer Thailand selalu berusaha untuk menyesuaikan struktur hirarkis-nya ke dalam kerangka  politik di Thailand. Akibatnya, tingkat intervensi militer di dalam politik Thailand mulai dikurangi. 2  Untuk memahami penggambaran peran militer dalam politik di Thailand, penting untuk kita memahami bagaimana militer di Thailand mempertahankan profesionalismenya dalam meng-intervensi urusan politik. Di Thailand, militer menganggap dirinya sebagai sebuah lembaga  profesional yang bertanggung jawab untuk melindungi negara dengan mengintervensi dalam politik ketika dibutuhkan. Namun, hal tersebut bukan menjadi jaminan bahwa militer Thailand benar-benar  profesional dalam menjalankan perannya terutama ketika mengintervensi urusan politik Thailand. Jika dilihat hingga hari ini, keterlibatan militer dalam politik Thailand masih terus ada. Militer cenderung mempertahankan pengaruh nya dalam tingkat tinggi pada urusan politik dan ekonomi demi kepentingannya sendiri daripada untuk melayani kepentingan masyarakat umum. Sebagai contoh, militer malah justru menjadi penghalang normatif untuk demokrasi yang stabil. 3  Pada tahun 1991, meskipun militer Thailand mendominasi politik sesuai dengan peran yang diyakini-nya profesional, ia tetap mengabaikan aturan-aturan demokrasi. Jika militer memiliki motif dan alasan yang kuat untuk melindungi negara ketika terjadi ancaman, maka militer boleh mengintervensi urusan politik. 4  Militer Thailand memiliki ideologi militer yang kuat dan penting dalam memandu tindakannya. Kewajiban dari ideologi ini terdiri dari loyalitas monarki, layanan pengorbanan untuk negara, perlindungan dan promosi demokrasi dan pertahanan kehormatan dan prestise dari institusi militer itu sendiri. Keberhasilan meluncurkan kudeta di Thailand tergantung pada kapasitas militer untuk memobilisasi kekuatannya dengan menggulingkan pemerintah-dengan sipil atau tanpa penggunaan aktual kekerasan sesuai dengan pola-pola intervensi militer, sebagai contoh tahun 1991 dan 2006. Meskipun kedua intervensi memperlihatkan pola non-kekerasan serupa untuk menggulingkan http://www.murdoch.edu.au/Research-capabilities/Asia-Research-Centre/_document/working-papers/wp166.pdf   1 diakses pada 15 Februari 2016 pukul 17:23 WIB. Ibid. 2  Huntington, S.P. (1995). ÔReforming civil-military relationsÕ, Journal of Democracy, hal. 15. 3  http://www.murdoch.edu.au/Research-capabilities/Asia-Research-Centre/_document/working-papers/wp166.pdf   4 diakses pada 15 Februari 2016 pukul 18:06 WIB.   2   pemerintah Chatchai dan Thaksin, peluncuran kudeta pada 1991 itu lebih cepat, berlangsung sekitar empat tahun ke masa pemerintah Chatchai (1988-1991) dengan tujuan konservasi kepentingan militer sendiri. Kekuatan militer digunakan untuk melestarikan kepentingan bisnis seperti perusahaan milik militer termasuk stasiun radio dan televisi, lembaga keuangan dan perusahaan saham-trading, yang  bisa terancam dibubarkan oleh perubahan pemerintahan. Korupsi tradisional yang merajalela tradisional di pemerintahan Chatchai tidak terlalu mempengaruhi warga sipil karena reputasi  pemerintahannya dalam mendukung kebijakan populis lebih rendah daripada pemerintah Thaksin, sehingga menjadikan terjadinya intervensi militer untuk mengakhiri pemerintahan itu dan berujung  pada kerusuhan Mei 1992. Pada masa pemerintahan Thaksin dan pemerintahannya penyelewengan banyak dilakukan  pada tahun 2006-an. Intervensi militer pada tahun 2006 terjadi setelah beberapa waktu, kira-kira setelah tujuh tahun, mengikuti ideologi yang mengamankan monarki dan promosi dan konsolidasi demokrasi, dengan motif signifikan untuk memulai kudeta. Intervensi ini tampaknya menjadi bukti kerjasama antara militer dan raja sesuai dengan ideologi militer yang bertindak sebagai 'wali monarki' karena berfokus pada kesetiaan kepada Raja bukan pemerintah. Namun, apabila pada kudeta tahun 1990-an militer menggunakan kekerasan dalam meng-intervensi pemerintahan dan  berakhir dengan kerusuhan Mei 1996, kali ini militer tidak menggunakan kekerasan dalam melakukan kudeta. Sejak tahun 1990-an, militer telah terus-menerus terlibat dalam politik melalui intervensi militer contohnya pada tahun 1991 dan 2006 dengan tujuan melindungi institusi militer, serta melindungi kepentingan negara. Kedua intervensi termotivasi oleh keinginan militer untuk mempengaruhi politik sebelum atau setelah kudeta berlangsung. Tidak hanya pemerintah tetapi juga militer menjadi faktor signifikan dalam situasi politik Thailand saat ini lagi terutama pasca kudeta 2006. Meskipun setelah insiden Mei 1992, peran militer itu diubah mengikuti profesionalisme militer, tanpa perlu intervensi dalam politik. Karakteristik anti-demokrasi yang diterapkan pada kudeta tahun 1991, disebabkan oleh ideologi yang kuat dari militer dalam upayanya untuk menjadi wali dari institusi militer, tidak seperti kudeta 2006, dimana mereka menunjukkan institusinya sebagai 'pro-demokrasi' karena mereka terlihat berusaha untuk memainkan peran sebagai penjaga negara, bukan hanya sebatas menjaga institusinya. 3  Pertanyaan Makalah Berangkat dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis merumuskan sebuah masalah terkait intervensi militer di Thailand pada dua kudeta yang menjadi rujukan penulis dalam menganalisa kasus, yaitu : Ò  Bagaimanakah perbedaan pola intervensi militer Thailand pada kudeta 1991 dan 2006? Ó Kerangka Pemikiran Dalam menulis makalah ini, penulis merujuk pada dua konsep, yaitu Demokrasi, dan Kudeta Militer untuk kemudian menjadi alur dari kerangka pemikiran penulis dalam menganalisa dan membahas makalah. A. Demokrasi Hendra Nurtjahyo merangkum sejumlah prinsip demokrasi yang dikemukakan para ahli dengan menyatakan adanya nilai-nilai yang substansial dan nilai-nilai yang bersifat prosedural dari demokrasi. Kedua kategori nilai tersebut baik subtansial dan prosedural sama pentingnya dalam demokrasi. Tanpa adanya nilai tersebut, demokrasi tidak akan eksis, dan kemuda prinsip eksistensial dari demokrasi itu sendiri adalah : kebebasan, kesamaan, dan kedaulatan suara mayoritas. 5  Selain itu, pendapat sejenis juga dikemukakan oleh Maswadi Rauf, bahwa demokrasi memiliki dua prinsip utama yaitu kebebasan/persamaan (  freedom/equality ), dan kedaulatan rakyat (  peopleÕs sovereignity ). B. Kudeta Militer Eric Nordlinger telah menaruh perhatiannya kepada kudeta sebagai bagian dari proses  politik. Menurutnya, kudeta merupakan sebuah kunci bagi seorang perwira militer untuk dapat mengambil alih kekuasaan negara. Hal ini biasanya dilakukan berdasarkan keadaan negara yang situasinya memburuk dari sisi ekonomi dan politik, misalnya korupsi oleh pejabat negara, aktor-aktor separatisme, kenaikan tingkat inflasi, tingkat pengangguran yang naik, dll. Biasanya, kudeta 6 militer ini digunakan ketika masyarakat sipil mulai tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang  Nurtjahjo, H.  Filsafat Demokras i. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Hal. 74-75. 5  https://www.jstor.org/stable/4190524?seq=1#page_scan_tab_contents diakses pada 15 Maret 2016 pukul 6 1:15 UTC.   4  sedang berkuasa dan berlaku disobedience atau tidak taat. Pada saat itulah, militer merasa perlu unutk dapat mengambil alih pada momentum politik  . Pembahasan Intervensi Militer Thailand Terhadap Politik Dasar dari keterlibatan militer dalam politik Thailand pada tahun 1991 dan 2006 akibat dari militer yang mengidentifikasi dirinya sebagai wakil negara, serta kepercayaan mereka untuk menjaga kepentingan korporasi dari angkatan bersenjata. Alasan utama, yang menjadikan militer Thailand terus menerus mempertahankan kebijakan intervensi di pemerintahan negeri selama  beberapa dekade, adalah keyakinan dalam sentralitas dari lembaga kuat untuk melindungi negara dari rasa ketidak-amanan. Militer Thailand memiliki ideologi militer yang kuat yang esensial 7 dalam melakukan tindakannya. Hal ini terdiri dari loyalitas monarki, layanan pengorbanan untuk negara, perlindungan dan promosi demokrasi dan pertahanan kehormatan dan prestise dari institusi militer itu sendiri. Selain itu, dalam menanggapi krisis potensi revolusi, perlindungan kepentingan militer adalah penting sebagai motivasi untuk intervensi militer dalam politik. Militer juga perlu melestarikan kekuasaannya sebanyak mungkin untuk melaksanakan peran dalam menyelesaikan masalah-masalah negara. 8  Investigasi dalam kudeta 1991 dan 2006 memperlihatkan alasan utama untuk intervensi militer dalam politik. Pada kedua kesempatan itu, kinerja lemah dan pemerintah korupsi. Hal ini menyebabkan intervensi militer karena keyakinan militer dalam perannya dalam penghapusan 'musuh negaraÕ. Kudeta 1991 Pada akhir 1980-an, sistem partai politik Thailand terus berkembang, meskipun tidak secara tetap. Hal ini merupakan tahap halus transisi dari status masa lalu sebagai tambahan untuk  pembentukan birokrasi untuk peran yang lebih besar sebagai saluran untuk representasi populer dan  penyedia eksekutif politik atas. Konsep politik partai tunggal kembali ke awal 1930-an, tapi dampak umumnya tidak signifikan, dan telah dibayangi oleh elit militer-birokrasi. Perebutan kekuasaan Hoadley, J. S. (1975). Soldiers and Politics in Southeast Asia: Civil-Military Relations in Comparative 7 Perspective, Cambridge: Schenkman Publishing. hal. 2. http://www.murdoch.edu.au/Research-capabilities/Asia-Research-Centre/_document/working-papers/ 8 wp166.pdf diakses pada 15 Maret 2016 pukul 11:02 UTC.   5