Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Kriminalitas Remaja

   EMBED

  • Rating

  • Date

    June 2018
  • Size

    341.6KB
  • Views

    93
  • Categories


Share

Transcript

Meninjau Ulang Kriminalitas Remaja Salah satu problem pokok yang dihadapi oleh kota besar, dan kota

-kota lainnya tanpa menutup kemungkinan terjadi di pedesaan, adalah kriminalitas di kalangan remaja. Dalam berbagai acara liputan kriminal di televisi misalnya, hampir setiap hari selalu ada berita mengenai tindak kriminalitas di kalangan remaja. Hal ini cukup meresahkan, dan fenomena ini terus berkembang di masyarakat. Dalam satu liputan di harian Republika (2007) misalnya, dikatakan bahwa di wilayah Jakarta tidak ada hari tanpa tindak kekerasan dan kriminal yang dilakukan oleh remaja. Tentu saja tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi, mulai dari tawuran antarsekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga pemerkosaan. Tindak kriminalitas yang terjadi di kalangan remaja dianggap kian meresahkan publik. Harian Kompas (2007) bahkan secara tegas menyatakan bahwa tindak kriminalitas di kalangan remaja sudah tidak lagi terkendali, dan dalam beberapa aspek sudah terorganisir. Hal ini bahkan diperparah dengan tidak mampunya institusi sekolah dan kepolisian untuk mengurangi angka kriminalitas di kalangan remaja tersebut. Dalam liputan khusus yang pernah dikeluarkan oleh Kompas (2002), dikatakan bahwa angka kriminalitas di Jakarta pada 2002 meningkat sebesar 9,86% jika dibandingkan dengan tahun 2001. Dalam persentase kenaikan tersebut memang tidak secara khusus dinyatakan berapa besaran angka kriminalitas di kalangan remaja. Harian Republika (2005) lebih berani mengatakan bahwa hampir 40% tindak kriminalitas di Jakarta dilakukan oleh remaja. Dalam liputannya, Kompas (2002) menyebutkan bahwa sampai dengan 30

1

Desember 2002 tercatat 34.270 kasus kriminal. Polresto Jakarta Pusat merupakan tempat pertama dengan angka kriminalitas tertinggi dengan 7.011 kasus, disusul oleh Jakarta Selatan denan 6.036 kasus, Jakarta Timur denan 4.274 kasus, Jakarta Barat dengan 2.997 kasus, Jakarta Utara dengan 2.827 kasus, Depok dengan 2.694 kasus, Bekasi dengan 2.487 kasus, dan Tanggerang dengan 2.474 kasus. Tentu saja daftar ini dapat lebih panjang lagi jika mempertimbangkan daerah lainnya. Crime Index atau daftar sebelas kejahatan yang meresahkan masyarakat juga bertambah, dari 18.677 kasus pada tahun 2001 menjadi 19.011 kasus pada tahun 2002. Adapun yang termasuk dalam Crime Index adalah pencurian dengan kekerasan (curas), pencurian dengan penganiayaan berat (curat), penganiayaan berat (anirat), pembunuhan, pencurian kendaraan bermotor (curanmor), kebakaran, perjudian, pemerkosaan, narkotika, dan kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dan dunia pada umumnya, dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk perilaku menyimpang di masyarakat. Tentu saja fenomena ini dapat dijelaskan dalam tataran ilmu sosial, hanya saja untuk mencari suatu teori yang relevan yang dapat menjelaskan dengan baik mengenai kenakalan remaja dibutuhkan kejelian tersendiri. Kenakalan remaja dapat diidentifikasikan sebaai bentuk penyimpangan yang terjadi di masyarakat, dan dengan identifikasi ini maka kenakalan remaja dapat dijelaskan dalam tataran ilmuilmu sosial.

2

Teori-Teori Terkait Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kenakalan remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh karena itu saya lebih cenderung untuk melihat kenakalan remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang (deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dari sisi penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga teori utama yang dapat menjelaskan fenomena ini yaitu: struktural fungsional terutama anomie dari Durkheim dan Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi diferensiasi dari Sutherland, dan power-conflict terutama dari Young dan Foucault.

(a) Struktural Fungsional Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi

pembentukan normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam masyarakat. Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi ketika pemaksaan atas seperangkat aturan main tidak orang, sepenuhnya dengan diterima oleh orang atau secara sekelompok demikian penyimpangan

sederhana dapat dikatakan sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yang dapat menjelaskan mengenai penyimpangan ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari Merton. Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial dengan angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dari ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial dan aturan sosial (social regulation) yang masing-masing independen, atau dalam

3

istilah

lain,

besaran demikian

integrasi pula

tidak

menentukan namun

besaran keduanya

pengaturan,

sebaliknya,

mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi sosial dapat diterjemahkan sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi masuk dalam kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi dalam kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yang sangat taat aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’ dan mereka yang sangat tidak taat masuk dalam kategori ‘anomie’ (wikipedia t.t.b). Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh Merton sebagai bentuk alienasi diri dari masyarakat di mana diri tersebut membenturkan diri dengan norma-norma dan kepentingan yang ada di masyarakat. pada Dalam dua menjelaskan yakni hal tujuan ini, Merton dan memfokuskan variabel, (goals)

‘legitimate means’ (saya secara sengaja tidak menterjemahkan kata ini karena tidak menemukan pengertian yang tepat) ketimbang integrasi sosial dan pengaturan sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat adaptasi masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan kultural (apa yang diinginkan oleh masyarakat mengenai kehidupan ideal) dan cara-cara yang dapat diterima di mana seorang individual dapat menuju tujuan-tujuan kultural. Merton sendiri membagi derajat adaptasi dengan lima kombinasi, yakni ‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’, dan ‘rebellion’.

(b) Interaksi Simbolik Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpanan datang dari individu yang mempelajari perilaku meyimpang dari orang lain.

4

Dalam hal ini, individu tersebut dapat mempelajari langsung dari penyimpang lainnya atau membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari tindakan tersebut dan perilaku menyimpang dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami. Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan berbagai tindakan atau perilaku lain yang dipelajari seseorang dari orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dari teorinya, seperti ide bahwa belajar datang dari adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan menggunakan komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal, sebagaimana perilaku lainnya, dipelajari oleh individu, dan tindakan ini dilakukan karena dianggap lebih menyenangkan ketimbang perilaku lainnya (lihat wikipedia t.t.a)

(c) Power-Conflict Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak pernah menulis tentang perilaku menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi power dalam suatu institusi yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya yang kemudian berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara

5

pribadi tidak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara khusus menyatakan bahwa dunia modern dapat dikatakan sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap konflik sosial, meskipun demikian, dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpang di antara mereka.

Kriminalitas Remaja: teori yang relevan Melihat tiga teori yang ada, maka penulis cenderung untuk memilih teori struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton sebagai teori yang dapat menjelaskan mengenai kenakalan remaja. Secara khusus Merton memang membahas mengenai deviant yang merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi seorang individu dalam masayarakat. Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007). Secara umum Merton menghubungkan antara kultur,

struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang digunakan oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku.

6

Struktur didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan kultur yang terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216). Perilaku norma, tujuan menyimpang dan dalam hal ini dilihat sebagai dalam

ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan cara-cara yang diperbolehkan masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang diinginkan (intended motif), namun juga motif-motif yang tidak diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan laten dalam integrasi berarti bahwa integrasi menyebabkan adanya pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam bahasa yang lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar atas terjadinya disintegrasi. Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang lebih besar: anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan

7

terjadinya penyimpangan, adalah ‘efek samping’ atau motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi dalam masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan berguna bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah ada, sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan disfungsi, Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105) Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku

menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu: 1. ‘Conformity’ atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya ‘benar dalam masyarakat’ 2. ‘Innovation’ atau individu yang tujuannya benar, namun caracara yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat. 3. ‘Ritualism’ atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara yang dipergunakannya dapat dibenarkan.

8

4. ‘Retreatism’ atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan. 5. ‘Rebellion’ atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan cara-cara yang diterima dengan menciptakan sistem baru yang menerima tujuan-tujuan dan cara-cara baru. Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang sangat baik dalam melihat perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya. Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian besar dari mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang diinginkan, yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil oleh mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang, seperti pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat. Tentu saja kasus yang dicontohkan oleh Merton pun dapat dipergunakan dalam melihat kasus kenakalan remaja di Indonesia.

9

Kenakalan remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang dapat dilihat sebagai keterputusan antara remaja sebagai individu dengan norma dan cara-cara yang diinginkan dalam masyarakat. Keterputusan ini menyebabkan sebagian remaja untuk bertindak dengan melakukan berbagai tindak kriminal. Terlepas apakah ‘the American Dream’ sama dengan ‘the Indonesian Dream’, namun tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja merupakan cara yang digunakan oleh remaja untuk mencapai cita-cita yang mereka inginkan yang boleh jadi tidak dapat mereka capai. Jika melihat derajat adaptasi yang dilakukan oleh remaja, boleh jadi mereka berada pada tahap ‘retreatism’ atau ‘rebellion’ yakni dengan menciptakan seperangkan tujuan dan aturan main yang benarbenar baru ketimbang yang berkembang secara umum di masyarakat. Meskipun demikian, tentu saja terdapat satu aspek lain yang harus diperhatikan ketika melihat kenakalan remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang, yakni perbuatan tersebut tetap ada dan berlangsung hingga saat ini karena perbuatan ternyata fungsional, setidaknya bagi sebagian pihak. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja boleh jadi merupakan fungsi manifes dari adanya integrasi dalam masyarakat. Secara umum, perilaku menyimpang memiliki fungsi tersendiri dalam masyarakat, di antaranya: (1) menegaskan nilai-nilai kultural dan norma-norma yang ada di masyarakat, (2) menciptakan kesatuan sosial dengan menciptakan dikotomi ‘kami’ dan ‘mereka’, (3) mengklarifikasi batasan-batasan moral, (4) perilaku menyimpang boleh jadi merupakan pernyataan sikap individu yang menentang terhadap tujuan dan norma dalam kelompok.

10

Kenakalan remaja berupa penyimpangan sosial merupakan gambaran betapa struktur sosial menguasai aktor, di mana struktur sosial yang ada justru mendorong para remaja untuk bertindak dengan melakukan tindakan kriminal. Dalam hal ini, ‘mind’ menjadi bagian intergral dalam masyarakat, di mana ‘mind’ menjadikan seperangkan nilai, norma dan tujuan yang ada di masyarakat sebagai aturan main bagi semua anggota masyarakat. Dengan menjadikan struktur sebagai bagian utama, dan mind sebagai bagian integral, maka setiap anggota masyarakat diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan hal itu, dan mereka yang ‘gagal’ untuk beradaptasi adalah mereka yang kemudian dikatakan sebagai penyimpang, termasuk di dalamnya adalah para remaja yang melakukan tindakan kriminal.

Juvenile Deliquency: Hubungan Sebab-Akibat Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja berupa tindakan kriminal boleh jadi membuat kita berpikir ulang mengenai integrasi dalam masyarakat. Alih-alih menjadi tertuduh utama, sebagaimana yang dituduhkan dalam media massa, kenakalan remaja berupa tindak kriminal justru memberikan pengaruh yang besar dalam masyarakat, meskipun pengaruh mereka tidak lah diinginkan (unintended). Adanya kriminalitas di kalangan remaja pun mendorong kita bertanya penyebab terjadinya tindakan tersebut. Kenakalan remaja boleh jadi berkaitan erat dengan hormon pertumbuhan yang fluktuatif sehingga menyebabkan perilaku remaja sulit diprediksi, namun ini bukan lah jawaban yang dapat menjadi justifikasi atas perilaku remaja. Rasanya angapan bahwa

11

hormon

berpengaruh di

sangat

besar

agak

dilebih-lebihkan, tinggi dan

nampaknya ada faktor lain yang menyebabkan mengapa angka kriminalitas kalangan remaja menjadi sangat perbuatan kriminalitas tersebut dianggap sangat meresahkan masyarakat secara luas. Salah satu tuduhan mengenai tingginya angka kriminalitas remaja – atau lebih tepatnya kenakalan remaja – adalah tidak berfungsinya mendidik kelurga dan/atau ketidakberfungsian mereka sosial masyarakat (lihat Masngudin t.t.). Keluarga di anggap gagal dalam remaja sehingga menyebabkan melakukan tindakan penyimpangan yang berujung dengan diberikannya sanksi sosial oleh masyarakat. Alih-alih tertib, sanksi yang diberikan justru menjadikan remaja menjadi lebih sulit diatur. Dan hal ini pula yang menyebabkan masyarakat di anggap gagal dalam melakukan tindakan pencegahan atas terjadinya perilaku menyimpang tersebut. Keluarga memegang peranan yang penting, dan hal ini diakui oleh banyak pihak (lihat tanyadokteranda.com t.t.). Keluarga merupakan elemen penting dalam melakukan sosialisasi nilai, norma, dan tujuan-tujuan yang disepakati dalam masyarakat, dan tingginya angka kriminalitas remaja sebagai konsekuensi dari tidak berjalannya aturan dan norma yang berlaku di masyarakat dianggap sebagai kesalahan keluarga. Jika melihat dari sisi teoritis, tentu saja bukan hanya keluarga yang dipersalahkan, masyarakat pun dapat dipersalahkan dengan tidak ditegakkan aturan secara ketat atau membantu sosialisasi norma dan tujuan dalam masyarakat. Salah satu faktor lainnya yang juga harus diperhatikan adalah peer group remaja tersebut. Teman sepermainan memegang

12

peran penting dalam meningkatnya angka kriminalitas di kalangan remaja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sutherland, bahwa tindakan kriminal bukan lah sesuatu yang alamiah namun dipelajari, hal ini lah yang menyebabkan pentingnya untuk melihat teman sepermainan remaja tersebut. Persoalan lain yang juga harus dihadapi, sebagaimana yang dicetuskan oleh Merton, mengenai kegagalan sebagian orang Amerika untuk mencapai ‘the American Dream’, begitu pula yang terjadi di Indonesia. Boleh jadi mereka yang melakukan tindakan kriminalitas mencapai di kalangan Indonesian remaja dream’ adalah mereka yang yang gagal selalu ‘the sebagaimana

dimunculkan dalam media massa. Remaja dalam media selalu dicitrakan sebagai sosok yang ‘kelewat kaya’ sehingga gambaran tersebt adalah hiperrealitas, realitas yang sebenarnya tidak ada dalam masyarakat Indonesia, dan rasanya tidak berlebihan jika para remaja ‘mengejar’ hal tersebut, hanya saja sebagian dari mereka justru menjadi kriminal sejati untuk mencapai ‘the Indonesian Dream’ tersebut.

Kepustakaan Kompas. 2002. “Tahun 2003 Jakarta Makin Rawan” dalam http://64.203.71.11/metro/news/0212/31/223054.htm ________. 2007. “Guru dan Orang Tua Tak Berdaya” dalam http://64.203.71.11/ver1/metropolitan/0711/13/050603.htm Masngudin HMS. t.t. “Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga, Kasus di Pondok Pinang Pinggiran Kota Metropolitan Jakarta” dalam http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004 /Masngudin.htm

13

Merton, Robert K. 1968. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press Republika. 2005. “Kenakalan Remaja Sudah Mengkhawatirkan” dalam harian Republika 23 Maret. __________. 2007. “Jakarta Kota Kriminal” dalam harian Republika 18 April. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Edisi keenam. Jakarta: Kencana. Wikipedia. t.t.a. “Juvenile Deliquency” http://en.wikipedia.org/wiki/Juvenile_deliquency.htm __________. t.t.b. “Deviant Behavior” http://en.wikipedia.org/wiki/Deviant_behavior.htm dalam dalam

14