Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Bab 2 Tinjauan Pustaka. Tumor Merupakan Penyakit Genetik Yang Kompleks, Melibatkan Kelainan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Payudara Tumor merupakan penyakit genetik yang kompleks, melibatkan kelainan struktural dan kelainan ekspresi gen (coding dan noncoding). Selama hampir tiga dekade, perubahan

   EMBED


Share

Transcript

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Payudara Tumor merupakan penyakit genetik yang kompleks, melibatkan kelainan struktural dan kelainan ekspresi gen (coding dan noncoding). Selama hampir tiga dekade, perubahan protein yang mengkode onkogen dan/ atau tumour-suppressor genes dianggap sebagai penyebab tumorigenesis (Calin, et.al., 2006). Tumor ganas adalah sekelompok sel-sel kanker yang dapat tumbuh dan berkembang pada jaringan dan/ atau menyebar ke daerah lain dari tubuh. Kanker payudara merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (DEPKES RI, 2009). Kebanyakan kanker payudara dimulai pada sel-sel yang melapisi saluran (ductal cancers). Beberapa dimulai pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers), sementara sejumlah kecil dimulai pada jaringan lain. Penyakit ini terjadi hampir seluruhnya pada perempuan, tetapi pria bisa juga terkena (American Cancer Society, 2013) Epidemiologi Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health Estimates, WHO (2013), kanker payudara merupakan kanker yang paling umum pada perempuan baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Kanker 9 10 payudara merupakan kanker kedua yang paling tinggi insidennya pada perempuan di seluruh dunia setelah kanker rahim dan sekitar 7%-10% dari semua tumor ganas. Tingkat insiden sangat bervariasi di seluruh dunia mulai dari 19,3 per perempuan di Afrika Timur hingga 89,7 per perempuan di Eropa Barat. Di sebagian besar negara sedang berkembang tingkat insiden di bawah 40 per perempuan. Tingkat insiden terendah ditemukan di sebagian besar negara-negara Afrika, akan tetapi angka kejadian kanker payudara di daerah tersebut juga meningkat. Meskipun kanker payudara dianggap penyakit di negara maju, akan tetapi hampir 50% kasus kanker payudara dan 58% kematian terjadi di negara-negara sedang berkembang (WHO, 2013). Sekitar 1 dari 8 perempuan memiliki risiko seumur hidup terkena kanker payudara invasif (Mandal, 2013). Di Australia, pada tahun 2009 insidensi kanker payudara sekitar 27,4% dari semua kasus baru kanker pada perempuan, dimana sekitar kasus baru kanker payudara pada perempuan dan 110 kasus baru pada laki-laki (Australian Government, 2013). Di Inggris, pada tahun 2010 ada sekitar kasus baru kanker payudara, 157 kasus baru kanker payudara untuk setiap perempuan (Mandal, 2013). Pada perempuan di Amerika Serikat, tahun 2011, diperkirakan kasus baru kanker payudara invasif dan kasus baru kanker payudara non-invasif/ insitu (Mandal, 2013). Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia. Tingkat insidensi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan lebih tua, terkait dengan status hormonal. Di Inggris 48% kasus kanker payudara perempuan 11 didiagnosis pada kelompok usia tahun (Mandal, 2013). Hal ini sejalan dengan angka kejadian kanker payudara di Australia, dimana pada tahun 2009, 51,4% kasus kanker payudara perempuan didiagnosis pada kelompok usia tahun, 25,8% pada kelompok usia 70 tahun ke atas, dan sisanya 22,9% pada kelompok usia lebih muda dari 50 tahun (Australian Government, 2013). Tingkat kelangsungan hidup penderita kanker payudara sangat bervariasi di seluruh dunia, mulai dari 80% atau lebih di Amerika Utara, Swedia dan Jepang, hingga sekitar 60% di negara-negara berpenghasilan menengah, dan di bawah 40% pada negara-negara berpenghasilan rendah (WHO, 2013). Tingkat kelangsungan hidup relatif setelah terdiagnosis kanker payudara pada perempuan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Antara periode dan , kelangsungan hidup lima tahun relatif meningkat dari 72% menjadi 89,4% pada perempuan Australia (Australian Government, 2013). Tingkat kelangsungan hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang terutama disebabkan oleh karena kurangnya program deteksi dini, sehingga lebih tinggi proporsi perempuan dengan kanker payudara stadium lanjut, serta kurangnya fasilitas diagnostik dan pengobatan yang memadai (WHO, 2013). Diperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari perempuan meninggal pada tahun 2011 disebabkan oleh kanker payudara (WHO, 2013), karena kebanyakan perempuan dengan kanker payudara didiagnosis pada stadium penyakit lanjut, dikarenakan gejala awal yang tidak khas (Zhao, et.al., 2012). Pada tahun 2010, kanker payudara merupakan penyebab utama kedua kematian terkait kanker pada perempuan Australia, dimana sekitar 15,3% dari semua kematian 12 akibat kanker pada perempuan. Terdapat kematian akibat kanker payudara yaitu perempuan dan 24 laki-laki (Australian Government, 2013). Pada tahun 2011, sekitar perempuan di Amerika Serikat meninggal akibat kanker payudara (Mandal, 2013). Di Indonesia, berdasarkan data rekam medis RS Kanker Dharmais tahun 2010, kanker payudara menempati urutan pertama dari segi jumlah pasien yang datang berobat. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, prevalensi kanker payudara pada periode Januari-Desember 2009 adalah 275 kasus. Kanker payudara ditemukan pada 0,36% pria dan 99,64% wanita. Golongan umur yang paling banyak ditemukan adalah antara tahun yaitu sebanyak 37,82%, sedangkan yang paling sedikit adalah umur antara tahun yaitu sebanyak 2,55%. Jenis histopatologi kanker payudara yang paling banyak ditemukan adalah invasive ductal carcinoma mamae dengan persentase kasus sebesar 60,37%. Berdasarkan stadium kanker payudara, stadium yang paling banyak terjadi adalah stadium IIIb sebanyak 37,82% dan yang paling sedikit ditemukan adalah stadium II dengan persentase sebanyak 1,09%. Sementara itu, di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data rekam medis pada tahun 2012, ada sebanyak 200 pasien baru yang terdiagnosis kanker payudara yang datang berobat ke bagian bedah onkologi RSUP. H. Adam Malik. Di Indonesia, hampir 70% penderita kanker ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, dimana sebagian besar pasien kanker payudara yang berobat ke RS/ dokter ( 50%) sudah dalam keadaan stadium lanjut. Setiap tahunnya 100 kasus baru terjadi diantara penduduk. Meningkatnya pengguna rokok, 13 konsumsi alkohol, kegemukan atau obesitas dan kurangnya aktifitas fisik/ olahraga juga berperan dalam peningkatan angka kejadian kanker di Indonesia. Berdasarkan kelompok umur, semakin tua usia maka risiko terkena penyakit kanker semakin tinggi, mencapai puncaknya pada usia 35 sampai 44 tahun, kemudian secara perlahan risikonya akan menurun dan akan terjadi peningkatan kembali pada usia 65 tahun. Menurut jenis kelamin, risiko penyakit kanker lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Oemiati, dkk., 2011) Faktor risiko Sulit untuk mengetahui berapa besar peran dari faktor risiko menyebabkan munculnya kanker payudara. Ada perempuan yang memiliki satu atau lebih faktor risiko tetapi tidak terkena kanker payudara, sementara ada perempuan tidak memiliki faktor risiko yang jelas (selain karena faktor jenis kelamin dan usia) tetapi terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013). Beberapa faktor risiko kanker payudara antara lain: Jenis kelamin Perempuan lebih berisiko 100 kali terkena kanker payudara dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena pria hanya memiliki sedikit hormon estrogen dan progesteron dibandingkan perempuan, yang dapat memicu berkembangnya kanker payudara (Ostad and Parsa, 2011). Usia Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Risiko terkena kanker payudara terus meningkat setelah usia 30 tahun sampai rentang usia (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Sekitar 1 dari 8 kanker payudara invasif ditemukan pada perempuan berusia lebih muda dari 45 tahun, sementara sekitar 2 dari 3 kanker payudara invasif ditemukan pada perempuan usia 55 tahun atau lebih (American Cancer Society, 2013) Riwayat keluarga Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara merupakan faktor risiko utama (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Mereka yang memiliki riwayat keluarga penderita kanker payudara dua kali lipat berisiko terkena kanker payudara. Sekitar 15% perempuan yang mendapat kanker payudara memiliki anggota keluarga yang juga menderita kanker payudara. Sekitar 5-10 % dari kanker payudara dikaitkan dengan mutasi gen (perubahan abnormal) diturunkan dari ibu atau ayah (Mandal, 2013). Memiliki satu kerabat tingkat pertama (ibu, saudara perempuan, atau anak perempuan) dengan kanker payudara membuat seorang perempuan memiliki risiko dua kali lipat terkena kanker payudara. Memiliki 2 kerabat tingkat pertama dengan kanker payudara meningkatkan risiko sekitar 3 kali lipat (Loman, et.al., 2003). Secara keseluruhan, kurang dari 15% perempuan penderita kanker payudara memiliki anggota keluarga yang menderita kanker payudara juga. Ini berarti bahwa sebagian besar ( 85%) perempuan yang 15 terkena kanker payudara tidak memiliki riwayat keluarga penderita kanker payudara (American Cancer Society, 2013) Riwayat pribadi kanker payudara Faktor risiko utama terkena kanker payudara primer adalah adanya riwayat pribadi kanker sebelumnya pada sisi payudara yang lain. Seorang perempuan dengan kanker pada satu sisi payudara memiliki 3-4 kali lipat peningkatan risiko berkembangnya kanker baru pada payudara yang lain atau sisi lain dari payudara yang sama (Armstrong, et.al., 2000). Hal ini berbeda dengan kondisi kekambuhan (recurrence) Ras dan etnis Perbedaan etnis merupakan faktor lain yang mempengaruhi prevalensi kanker payudara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, kanker payudara lebih umum terjadi pada orang kulit putih. Perbedaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh faktor gaya hidup dan kondisi sosial. Wanita yang memiliki pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki risiko yang lebih besar terkena kanker payudara, dikarenakan pola reproduksi mereka, termasuk kehamilan pertama. Perbedaan etnis dalam hal subtipe reseptor estrogen dan progesteron juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi terjadinya kanker payudara. Dalam Study kohort multietnis, dilaporkan berbagai status estrogen reseptor (ER)/progesteron reseptor (PR) termasuk ER-/PR-, ER+/PR+, 16 ER-/PR+ dan ER+/PR- bervariasi secara signifikan di seluruh kelompok ras/ etnis bahkan dalam stadium tumor yang sama (Ostad and Parsa, 2011) Jaringan payudara yang padat Payudara terdiri dari jaringan lemak, jaringan fibrosa, dan jaringan kelenjar. Seseorang dikatakan memiliki jaringan payudara yang padat (seperti yang terlihat pada mammogram) ketika mereka memiliki lebih banyak jaringan kelenjar dan fibrosa serta jaringan lemak yang lebih sedikit. Perempuan dengan jaringan payudara yang padat memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara dibandingkan perempuan dengan payudara kurang padat. Sayangnya, jaringan payudara yang padat juga bisa membuat mammogram kurang akurat. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi kepadatan payudara, seperti usia, status menopause, penggunaan obat-obatan (seperti terapi hormon menopause), kehamilan, dan genetik (American Cancer Society, 2013) Memiliki penyakit payudara yang bersifat jinak Perempuan dengan penyakit payudara yang bersifat jinak memiliki peningkatan risiko terkena kanker payudara (Kumar, 2007). Risiko ini bervariasi, sesuai dengan gambaran subkategori histopatologis nya (Terry and Rohan, 2002). 17 Penyakit payudara yang bersifat jinak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : (American Cancer Society, 2013) a. Lesi non-proliferasi Kondisi ini tidak berhubungan dengan pertumbuhan jaringan payudara yang berlebih. Kondisi payudara jenis ini tampaknya tidak mempengaruhi risiko kanker payudara, atau jika berpengaruh, maka pengaruhnya sangat kecil. Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain fibrosis dan/ atau simpel kista (penyakit fibrokistik), hiperplasia ringan, adenosis non-sklerosis, ductal ectasia, tumor phyllodes jinak, papilloma tunggal, fat necrosis, fibrosis periduktal, metaplasia skuamosa dan apokrin, kalsifikasi terkait epitel dan tumor jinak lainnya (lipoma, hamartoma, hemangioma, neurofibroma, adenomyoepthelioma). Mastitis (infeksi payudara) tidak meningkatkan risiko kanker payudara. b. Lesi proliferatif non-atipia Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara. Kondisi meningkatkan risiko seorang perempuan terkena kanker payudara sekitar 1½-2 kali lebih tinggi dari normal (Kumar, 2007). Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain hiperplasia duktal (non-atypia), fibroadenoma, adenosis sklerosis, beberapa papiloma (papillomatosis), bekas luka radial. 18 c. Lesi proliferatif atipia Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara, dengan beberapa sel tidak lagi normal. Kondisi ini memberikan efek yang lebih kuat pada risiko kanker payudara 3½ - 5 kali lebih tinggi dari normal (Kumar, 2007). Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain hiperplasia duktus atipikal (Atypical ductal hyperplasia/ ADH) dan hiperplasia lobular atipikal (Atypical lobular hyperplasia/ ALH). Perempuan dengan riwayat keluarga kanker payudara dengan hiperplasia atau hiperplasia atipikal memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara. Selain kondisi di atas, kondisi Lobular carcinoma in situ (LCIS) juga merupakan faktor risiko kanker payudara. Pada kondisi LCIS, sel-sel yang terlihat seperti sel-sel kanker tumbuh di lobulus kelenjar penghasil susu dari payudara, tetapi tidak tumbuh pada dinding lobulus. LCIS (juga disebut lobular neoplasia) kadang-kadang dikelompokkan dengan ductal carcinoma in situ (DCIS) sebagai kanker payudara non-invasif, tetapi berbeda dari DCIS tidak menjadi kanker invasif meskipun tidak diobati. Perempuan dengan kondisi ini memiliki 7-12 kali lipat peningkatan risiko kanker payudara yang invasif. Dengan alasan ini, perempuan dengan LCIS harus melakukan mammografi reguler (Kumar, 2007; American Cancer Society, 2013). Periode menstruasi Perempuan yang memiliki siklus menstruasi lebih banyak, karena mereka mulai menstruasi lebih awal ( 13 tahun) dan/ atau mengalami menopause lebih lama ( 55 tahun), memiliki risiko yang lebih tinggi terkena kanker payudara (Kumar, 2007; DEPKES RI, 2009). Peningkatan risiko mungkin karena paparan seumur hidup lebih lama terhadap hormon estrogen dan progesteron (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003; Ostad and Parsa, 2011) Paritas, riwayat reproduksi, dan riwayat menyusui Jumlah paritas yang banyak (multipara) erat kaitannya dengan penurunan risiko kanker payudara (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003). Perempuan yang tidak memiliki anak atau kelahiran hidup anak pertama setelah usia 30 tahun memiliki risiko kanker payudara yang lebih tinggi (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Kehamilan beberapa kali dan hamil pada usia muda mengurangi risiko kanker payudara. Sebaliknya usia kehamilan penuh pertama yang lebih tua mempunyai risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Ostad and Parsa, 2011). Kehamilan mengurangi jumlah siklus menstruasi selama hidup, yang mungkin menjadi alasan untuk efek ini (American Cancer Society, 2013). Beberapa studi menunjukkan bahwa menyusui dapat menurunkan risiko kanker payudara, terutama jika dilanjutkan selama 1½-2 tahun, dikarenakan berkurangnya jumlah total siklus menstruasi (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003). Kontrasepsi Hormon estrogen eksogen, baik dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi (Combined Oral Contraception/ COC) atau terapi sulih hormon (Hormone Replacement Therapy/ HRT), juga mengakibatkan peningkatan risiko kanker payudara, namun hal ini tergantung pada durasi paparan dan apakah hormon estrogen yang digunakan dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan progesteron (Wrensch, et.al., 2003).. Data tentang efek kontrasepsi oral pada risiko terjadinya kanker payudara masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan peningkatan risiko kanker payudara pada pengguna kontrasepsi oral jangka panjang ( 7 tahun) (DEPKES RI, 2009), sedangkan pada beberapa penelitian lain, tidak ada terlihat perbedaan yang signifikan. Penggunaan terapi hormon postmenopause jangka panjang dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Kumar, 2007). Sebaliknya, terapi hormon jangka pendek tampaknya tidak meningkatkan risiko kanker payudara secara signifikan (Ostad and Parsa, 2011). Pada sebuah studi yang dilakukan di Oxford yang meneliti wanita yang menggunakan HRT 5 tahun menunjukkan 3-9 kasus kanker payudara/ 1000 wanita yang menggunakan HRT selama 10 tahun dan 5-20 kasus kanker payudara/ 1000 wanita yang menggunakan HRT selama 15 tahun (Connor and Stuenkel, 2001). Terapi hormon estrogen (sering dikombinasikan dengan progesteron) telah digunakan selama bertahun-tahun untuk membantu meringankan gejala menopause dan membantu mencegah osteoporosis. Terapi hormon estrogen tuggal setelah menopause tidak meningkatkan risiko kanker payudara, akan tetapi 21 menggunakan terapi kombinasi hormon (estrogen-progesteron) setelah menopause meningkatkan risiko kanker payudara. Hal ini juga dapat meningkatkan kemungkinan kematian akibat kanker payudara. Peningkatan risiko dapat dilihat hanya dalam 2 tahun penggunaan. Risiko kanker payudara akan kembali seperti populasi umum setelah 5-10 tahun menghentikan penggunaan terapi kombinasi hormon (Connor and Stuenkel, 2001; Kumar, 2007) Peminum alkohol Penggunaan alkohol juga terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara (DEPKES RI, 2009). Data epidemiologis telah mengidentifikasi konsumsi alkohol kronis sebagai faktor risiko yang signifikan untuk kanker. Dibuktikan bahwa asetaldehida bertanggung jawab pada proses karsinogenesis terkait alkohol. Asetaldehida merupakan karsinogenik dan mutagenik, berikatan dengan DNA dan protein, merusak folat dan menyebabkan hiperproliferasi sekunder (Poschl and Seitz, 2004). Dibandingkan dengan yang tidak peminum, perempuan yang mengkonsumsi minuman beralkohol dengan rutin lebih dari 3 kali sehari memiliki risiko 3,6 kali terkena kanker payudara dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengkonsumsi alkohol (Wrensch, et.al., 2003) Kelebihan berat badan atau obesitas Kelebihan berat badan atau obesitas setelah menopause meningkatkan risiko kanker payudara (DEPKES RI, 2009). Sebelum menopause ovarium 22 menghasilkan hormon estrogen yang paling banyak, dan jaringan lemak menghasilkan hormon estrogen dalam jumlah kecil. Setelah menopause (ketika ovarium berhenti mensekresikan estrogen), sebagian besar dari estrogen perempuan berasal dari jaringan lemak, sehingga memiliki lebih banyak jaringan lemak setelah menopause dapat meningkatkan risiko kanker payudara (McTiernan, et.al., 2003) Kurangnya aktivitas fisik Aktifitas fisik mengurangi risiko kanker payudara. Aktivitas fisik dapat memodulasi kadar hormon reproduksi wanita dan mempengaruhi karakteristik menstruasi. Selain itu, wanita yang aktif lebih mudah menjadi ramping, yang berhubungan dengan rendahnya risiko kanker payudara pascamenopause (Lee, et.al., 2001). Dalam sebuah penelitian Women's Health Initiative, jalan cepat sedikitnya selama 1,25-2,5 jam per minggu akan mengurangi risiko kanker payudara sebesar 18% (American Cancer Society, 2013) Bahan kimia di lingkungan Senyawa pada lingkungan yang memiliki sifat seperti estrogen seperti zat yang ditemukan pada plastik, kosmetik tertentu dan produk perawatan pribadi, pestisida (seperti DDT), dan PCB (polychlorinated biphenyls), dapat tertimbun di jaringan adiposa, mempengaruhi risiko kanker payudara. Beberapa studi menunjukkan bahwa paparan bahan kimia tersebut akan meningkatkan risiko terkena kanker payudara, akan tetapi data yang ada masih kontroversial, sehingga 23 diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih spesifik efek senyawa tersebut atau sejenisnya terhadap kesehatan (Ostad and Parsa, 2011) Asap rokok Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa asap tembakau mengandung potensi karsinogen pada payudara manusia (termasuk hidrokarbon polisiklik/ PAH, 2 amina aromatik, dan N-nitrosamin). Karsin