Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Bab I Pendahuluan. Secara Umum, Angka Kelulusan Ujian Nasional Untuk Tingkat Sma Secara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara Umum, angka kelulusan ujian nasional untuk tingkat SMA secara nasional tahun ini mengalami kenaikan sebesar 2,3% dari tahun sebelumnya. Data yang dirilis Badan

   EMBED

  • Rating

  • Date

    June 2018
  • Size

    334.7KB
  • Views

    3,751
  • Categories


Share

Transcript

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara Umum, angka kelulusan ujian nasional untuk tingkat SMA secara nasional tahun ini mengalami kenaikan sebesar 2,3% dari tahun sebelumnya. Data yang dirilis Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) beberapa waktu lalu bisa jadi menggembirakan banyak pihak. Namun di sisi lain, data tersebut justru sangat memilukan sekaligus mengecewakan, khususnya bila mengingat upaya untuk mendapatkan angka kelulusan dimaksud. Data resmi dari BSNP memang mencerminkan tingkat kelulusan siswa tahun ini yang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Tahun lalu, tingkat kelulusan pada ujian nasional SLTA adalah 91,3%, sedangkan tahun ini naik menjadi 93,6%. Tidak hanya itu. Nilai rata-rata dari enam mata pelajaran yang diujikan pun mengalami kenaikan 0,03 dari 7,21 pada 2008 menjadi 7,24 pada tahun ini. Artinya, bahwa pada tahun ini semakin banyak siswa SLTA yang dapat menjawab soal-soal dalam ujian yang diselenggarakan secara nasional itu. Juga, semakin besar proporsi siswa kita yang kualitasnya memenuhi standar yang ditentukan pemerintah pusat. Hal ini tentunya dianggap sebagai berita baik bagi dunia pendidikan, namun dianggap berita baik bila kita hanya melihat dan memberikan ukuran normatif semata. Tetapi bagaimana pula bila kita lihat upaya maupun tahapan dan pelaksanaan untuk mendapatkan angka yang menggembirakan itu? Nampaknya tidak ada yang bisa dibanggakan, sebab di sana-sini justru terjadi berbagai bentuk pelanggaran. Seolah semua upaya menjadi halal demi memperoleh predikat lulus dalam Ujian Nasional (UN). Semua menjadi sah-sah saja sepanjang mampu mengantarkan siswa ke pintu kelulusan. Ironisnya, berbagai bentuk pelanggaran dan kecurangan itu tidak lagi hanya dilakukan oleh para siswa, tetapi sudah melibatkan pihak sekolah masing-masing. Lebih lanjut Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta mengatakan, pertumbuhan lembaga pendidikan nonformal di Indonesia relatif pesat. Catatan Ditjen Diklusepa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003 menyebutkan, di Indonesia terdapat lembaga kursus, sebanyak buah di antaranya adalah LBB bahasa. Bandingkan dengan jumlah SMA sebanyak buah dan SMK lembaga. Sekolah harus berani membuka diri terhadap lembaga bimbingan belajar dalam upaya meningkatkan prestasi siswa. Tujuannya supaya para siswa lebih mampu berbicara di tingkat nasional dan internasional, tegasnya. Munculnya kursus-kursus ketrampilan, bimbingan belajar, dan kegiatan-kegiatan lain yang sejenis, baik yang dilakukan perorangan maupun lembaga, sebenarnya mengindikasikan bahwa sekolah saja tidaklah sanggup untuk mewujudkan mutu pendidikan yang kita harapkan. Pada awalnya bimbel atau bimtes didirikan oleh sekelompok mahasiswa yang pada umumnya berasal dari PTN (Perguruan Tinggi Negeri) terkemuka. Mereka melihat peluang bisnis ketika musim penerimaan mahasiswa baru. Tingginya minat siswa untuk dapat kuliah di PTN menyebabkan ketimpangan antara daya tampung PTN yang terbatas dengan peminat yang jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga terjadi persaingan yang sangat ketat untuk memperoleh kursi di PTN. Akhirnya sekelompok mahasiswa tadi membentuk kelompok belajar yang memberikan jasa untuk dapat membantu agar lulus Bimbingan belajar yang ada saat ini sebenarnya juga sama yakni mengantarkan siswanya untuk dapat lulus tes/ujian baik UN, US, SPMB maupun ujian masuk perguruan tinggi lainya. Sampai saat ini kepercayaan masayarakat pun masih tinggi terhadap lembaga ini. Terbukti tak pernah sepinya lembaga bimbingan belajar dari pendaftar, siswanya bahkan kini telah merambah ke Siswa SD dan SMP. Bagi siswa SD dan SMP selain untuk meningkatkan prestasinya disekolah juga untuk mempersiapkan UN dan seleksi masuk SMP dan SMA favorit. Lantas dimana posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan formal? Apakah kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tidak lebih baik dari lembaga bimbel atau bimtes. Siswa pun agaknya kurang Pede (percaya diri) dalam menghadapi UN dan SPMB kalau belum mengikuti bimbel di luar sekolahnya. Ironinya banyak sekolah yang mulai mejalin kerjasama dengan bimbelbimbel ternama untuk mengantarkan siswanya agar lulus UN. Sebetulnya kerjasama bimbel dan sekolah tidak dapat diartikan sebagai bentuk percaya atau tidak dipercayainya lembaga sekolah oleh masyarakat, ataupun pertanda guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total sebagaimana yang diungkapkan dalam tulisan tersebut. Bentuk kerjasama tersebut tidak lain adalah karena dorongan saling membutuhkan dan saling melengkapi peranannya dari masing-masing lembaga. Dalam pasal 13 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa Jalur Tipe soal yang diberikan pun berbeda, disekolah tidak diberikan model soal pilihan ganda kompleks dan soal sebab-akibat sedang dalam ujian SPMB ataupun ujian masuk perguruan tinggi yang lain ada. Disekolah siswa diberi Belum lagi kurikulum yang tidak sinkron dengan materi SPMB. Misal siswa kelas XII program IPS tidak mendapatkan pelajaran geografi tapi dalam SPMB materinya ada dalam mata ujian kemampuan IPS dan Disekolah tidak ada pelajaran IPS /IPA terpadu tapi di SPMB ada mata ujiannya. Dan masih banyak hal lain yang tidak didapatkan disekolah tapi dibutuhkan siswa dalam persiapan mengahadapi ujian SPMB atau lainya. Dengan demikian antara lembaga sekolah dan bimbel sebetulnya merupakan mitra yang dapat saling melengkapi fungsi dan perananya masing-masing. Karena baik sekolah maupun bimbel sama-sama memiliki kekurangan dan keterbatasan. Dan kehadiran bimbel justru menambah kekayaan khasanah pendidikan kita. Diakui atau tidak berhasilnya siswa-siswi Indonesia dalam kancah pendidikan internasional melalui olimpiade ada andil dari lembaga bimbingan belajar. Kedua-duanya memberikan bekal yang sangat dibutuhkan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian yang menetukan masa depannya. Berkaitan dengan masalah ini yang perlu dilakukan pemerintah adalah upaya untuk terus menyempurnakan sistem evaluasi yang ada baik berkaitan dengan UN ataupun seleksi masuk perguruan tinggi agar adanya kesinambungan dalam menilai antara proses belajar dan hasil belajar. Jauh-jauh hari Ki Hajar Dewantara menekankan tentang perlunya tri pusat pendidikan-keluarga, sekolah, dan masyarakat-bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Mendiang Pater Drost juga mengingatkan kita semua bahwa sekolah sebenarnya lebih banyak porsi pengajarannya daripada pendidikannya. Karena itu keluarga menjadi pilar pertama dan utama dalam membentuk moral dan karakter anak. Jika dilihat dari teori pemasaran dan mekanisme pasar, hadirnya bimbingan belajar adalah buah dari kejelian orang melihat kebutuhan murid yang tidak terpenuhi di sekolah maupun di rumah. Yakni kebutuhan yang berkait dengan proses belajar yang variatif dan menyenangkan, serta kebutuhan untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal dengan menggunakan cara-cara yang lebih simpel dan praktis. Berdasarkan survei pada sebuah Sekolah Menengah Pertama yang tergolong bonafit dan faforit di kota Malang. Survei tersebut berusaha menjaring data yang terkait dengan aspek-aspek Pembinaan Menjelang UN di sekolah, dibandingkan LBB/Bimbingan Belajar (Bimbel) yang berada di luar sekolah. Setelah diadakan survei diperoleh data, terdapat 79,13% siswa telah mengikuti Bimbel di luar sekolah dan 20,87% belum/tidak mengikuti Bimbel. Data ini diperoleh dari seratus lima belas (115) siswa kelas 9 yang telah mengisi angket. Berdasarkan isian angket di atas, diketahui bahwa persentasi siswa lebih banyak yang menyatakan Bimbel jauh lebih baik dibandingkan Pembinaan di Sekolah. Dengan kata lain, persentasi siswa lebih sedikit yang menyatakan Pembinaan di Sekolah lebih baik dibandingkan Bimbel. Hal di atas, berangkat dari penilaian siswa berdasarkan aspek-aspek: kualitas (program); kompetensi guru; kecocokan/representasi materi; dan pengaruhnya terhadap kelulusan siswa, baik pada Pembinaan di Sekolah maupun pada Bimbel termasuk didalamya kualitas jasa pelayanan dari lembaga bimbel. Memang, terdapat persentasi siswa lebih banyak yang menyatakan Pembinaan di Sekolah lebih berpengaruh pada kelulusan siswa. Namun, pendapat tersebut bukan disebabkan oleh keyakinan siswa akan kualitas pembinaan di sekolah, kompetensi guru, ataupun kecocokan materinya. Pendapat tersebut lebih dipengaruhi oleh keyakinan siswa bahwa guru adalah salah satu pemegang palu kelulusan siswa, sama seperti pendapat bahwa guru adalah salah satu penentu kenaikan kelas siswa. Peran Bimbel ternyata tidak hanya sebagai tempat memperdalam edukasi saja, akan tetapi dapat juga dijadikan sebagai alternatif lain untuk meminimalisir kekhawatiran. Bimbel merupakan tempat pelarian dalam batas-batas dan orang-orang tertentu, tetapi itu bukan kesimpulan signifikan. Bimbel dapat menjadi alternatif untuk mengurangi stres, ujar Juliani Prasetyaningrum, pakar psikologi yang juga sebagai dosen psikologi UMS saat ditemui Pabelan Pos Senin (28/4) di ruang kerjanya. Terlebih apabila bimbel didukung tutor yang kompeten maka fungsi edukasinya sangat optimal. Jika bimbel atau tutor diberikan oleh orang yang kompeten dan itu untuk membantu memahami materi lebih optimal, tambahnya.diberikan oleh orang yang kompeten dan itu untuk membantu memahami materi lebih optimal, tambahnya. Sementara itu, pakar pendidikan Harun Joko Prayitno, berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan peran bimbel justru akan mengebiri peran orang tua dan guru. Pada bimbel sebenarnya terjadi pendangkalan materi melalui metode pembelajaran, disisi lain bimbel dapat juga memotong proses belajar, memotong peran dan kewajiban orang tua, memotong peran dan kewajiban guru. ungkapnya kepada Pabelan Pos, Senin (28/4). Berbagai cara dilakukan baik pihak sekolah maupun siswa itu sendiri demi mengurangi beban psikis siswa yang dirasa semakin berat Menurut Juliani Prasetyaningrum, stres yang dialami siswa dapat diminimalisir oleh siswa itu sendiri. Stres dapat diminimalisir dengan memanage stres yang bersifat individual atau personal, ungkapnya. Menurutnya hal tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara subjek mandalami penyebab stressor dan di deskripsikan. Kemudian subjek membayangkan hal paling buruk yang mungkin terjadi dari rasa takutnya. Lantas subjek mencari solusi dari hasil retrospeksi diatas. Dan solusinya itu dipersiapkan sebelum subjek menghadapi langsung stressornya Jika dilihat dari aspek edukasi, hadirnya bimbingan belajar sesungguhnya telah menghadirkan banyak manfaat positif bagi anak didik. Pertama, bimbingan belajar mengembangkan suasana kompetitif bagi para murid. Jika mereka di sekolah, lawan yang dihadapi berasal dari satu sekolah. Tidak demikian halnya ketika mereka berada di bimbingan belajar. Sebagai bangsa yang harus siap berkompetisi dalam era globalisasi, menanamkan jiwa dan sikap kompetitif sejak dini merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi pendidikan itu adalah investasi, bukan sebuah proses yang tiba-tiba, sehingga menanamkan nilai-nilai sejak awal menjadi sebuah keharusan. Kedua, bimbingan belajar menjadi alternatif tempat yang kondusif bagi berkembangnya pola pikir dan nalar ilmiah, sesudah sekolah. Iklim yang berkembang di tempat-tempat bimbingan belajar telah membentuk sikap mental anak untuk makin terpelajar. Ketiga, bimbingan belajar yang pengelolaannya lebih fleksibel dibanding sekolah memiliki akselerasi yang lebih tinggi dalam menyosialisasikan informasi-informasi tentang perkembangan ilmu dan teknologi dalam pembelajaran. Dalam hal pemilihan jurusan, misalnya, bimbingan belajar memiliki data yang lengkap dan akurat tentang peta persaingan perguruan tinggi. Lewat data-data ini, para siswa diberi arahan tentang fakultas, jurusan, atau program studi yang cocok dengan minat dan kemampuan siswa, plus prospek lulusannya di kemudian hari. Dengan demikian diharapkan agar jika kelak siswa yang bersangkutan telah diterima di fakultas, jurusan, atau program studi pilihannya, ia akan lebih bersungguhsungguh dalam menekuni ilmu yang dia pelajari. Kalau ini terlaksana, para lulusan perguruan tinggi tentu akan memiliki diferensiasi dan daya saing yang bisa diandalkan. Hal-hal lain yang berkait dengan pengembangan pribadi yang juga sering diberikan kepada para siswa, adalah manfaat keempat dari kehadiran bimbingan belajar. Ceramah atau pelatihan semacam Achievement Motivation, Leadership, Emotional Intelligence, Multiple Intelligence, adalah beberapa contoh materi yang sering diterima peserta bimbingan belajar. Ketika materi-materi semacam itu diberikan kepada para siswa, mereka mengaku bahwa rasa percaya dirinya menjadi makin meningkat. Padahal rasa percaya diri merupakan bagian yang sangat penting untuk menjangkau prestasi yang lebih maksimal. Itulah beberapa manfaat yang bisa kita catat dari kehadiran bimbingan belajar. Sehingga patut disesalkan jika ada segelintir orang yang mengatakan bahwa diberlakukannya Ujian Nasional hanya akan menguntungkan lembaga-lembaga bimbingan tes atau bimbingan belajar. Sebuah pernyataan yang terburu-buru dan mengingkari kenyataan. Sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa yang pernah mengikuti bimbingan belajar, sebagian besar memiliki track record yang bagus selama di perguruan tinggi. Paling tidak, itulah yang pernah disinggung Prof. Boma saat menjelaskan tentang mekanisme penerimaan mahasiswa baru beberapa tahun silam. Namun agaknya penyakit reaktif dan curiga lebih mewarnai alam pikiran masyarakat kita. Berbagai upaya yang dilakukan oleh sebagian kecil komponen masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan, sering disikapi dengan nada miring atau sumbang. Bimbingan belajar atau pendidikan non formal pada umumnya, sebenarnya bukan musuh nya sekolah, bukan pula musuh nya para guru yang menyelenggarakan privat di rumahnya masing-masing. Kehadiran mereka, ibarat mozaik, adalah untuk melengkapi dan memperindah suasana. Selanjutnya, berkenaan dengan masalah pendidikan di Indonesia, disamping keadaan rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru, pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study- Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTA kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75. Tingginya minat siswa-siswi sekolah formal mengikuti bimbingan belajar merupakan simbol ketidakpercayaan siswa dan orangtua siswa terhadap proses pembelajaran di sekolah formal. Karenanya, sekolah harus memperbaiki pelayanannya kepada siswa untuk mengembalikan kepercayaan. Sumatera Barat Intellectual Society (SIS) sebagai sebuah lembaga kajian intelektual muda Sumbar mencoba mencermati fenomena ini dengan melakukan survey tentang budaya les dikalangan pelajar SLTA se-derajat di Kota Padang. Survey ini adalah survey lapangan yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan realitas lapangan secara apa adanya. Survey ditujukan pada 100 orang pelajar SLTA se-derajat dengan teknik pengambilan sampel secara random (acak). Hasilnya, dari total 100 orang responden, sebanyak 74 responden menjawab pernah mengikuti les/kursus, 26 responden tidak pernah. Dari total responden yang mengikuti les, sebanyak 32% mulai mengikuti les sejak SD, 53% responden mulai mengikuti les sejak SLTP, dan 15% responden mulai mengikuti les sejak SLTA. Mengenai tempat mereka mengikuti les, mayoritas responden (65%) mengikuti les di lembaga-lembaga les/ kursus (lembaga pendidikan non-formal), 16% responden ikut les di sekolah, 15% responden les di di rumah guru mereka, dan ada 4% responden yang sengaja mendatangkan guru les ke rumah mereka. Umumnya responden mengikuti les untuk mengatasi mengatasi kesulitan belajar di sekolah dengan persentase sebesar 58%, sementara sebanyak 39% responden menyatakan ikut les sebagai persiapan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Disinggung tentang besarnya biaya les mereka, sebanyak 45% responden mengaku biaya les mereka perbulan lebih dari 100 ribu rupiah, 38% responden mengeluarkan biaya antara ribu rupiah per bulan, dan sekitar 18% responden menyatakan biaya les mereka perbulan dibawah 50 ribu rupiah.ketika ditanya apakah dengan mengikuti les responden meningkat prestasi belajar, mayoritas responden (82%) menjawab prestasinya meningkat, hanya 18% responden yang menyatakan les tidak membantu meningkatkan prestasi belajar mereka. Kepada mereka juga ditanyakan, seandainya mereka tidak mengikuti les apakah mereka yakin mampu menjawab soal ulangan di sekolah? Sebanyak 54% responden justru yakin bisa menyelesaikan soal-soal ulangan disekolah dengan baik meski tidak mengikuti les, sementara 43% lainnya menjawab tidak yakin bisa menjawabnya jika tidak ikut les. Data ini melihatkan bahwa belajar bangku sekolah saja tidak cukup membuat peserta didik percaya diri menghadapi ujian akhir (Irma T, 2009). Masuk LBB para pelajar biasa menyebut bimbel (bimbingan belajar) memang menjadi tren sejak pertengahan tahun 1990-an. Dari zaman sebelum tahun 1990, saat bimbingan belajar BT/BS Bima mulai dikenal karena begitu agresif memperkenalkan lembaganya sebagai tempat bimbingan belajar yang berhasil membawa peserta kursus masuk ke sekolah favorit, promosi yang dilakukan memang luar biasa. Pengelola bisnis kursus pelajaran sekolah tersebut tahu benar masalah yang satu ini. Mulai dari tidak pede (percaya diri)-nya para orang tua terhadap pelajaran disekolah. Benarkah peran bimbingan belajar BT/BS Bima begitu besar dalam mengasah kemampuan anak terutama agar lolos ujian masuk sekolah favorit, bagaimana dengan janji peserta pasti lulus tes jika ia mampu mencapai skor tertentu saat try out. Prof Dr Soesmalijah Soewondo berkata, bohong jika mereka sampai memberikan jaminan semacam itu. Prof Toemin secara tegas juga menyatakan tidak setuju dengan iming-iming seperti itu. Saya tidak percaya sistem drill di bimbingan belajar, biarpun setahun penuh akan meningkatkan kemampuan siswa sehingga sukses mengerjakan soal ujian masuk sekolah. Kemampuan memahami persoalan tak akan terasah dengan cara drill, baik itu yang diadakan di sekolah-sekolah tertentu (biasanya unggulan) maupun di bimbingan belajar BT/BS Bima Perkembangan bisnis bimbingan belajar BT/BS Bima tampaknya tak lepas dari menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan formal. Orang tua merasa tidak pua