Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Bab Ii Tinjauan Pustaka. Familia Homonidae, Dengan Klasifikasi Sebagai Berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orangutan (Pongo pygmaeus) 1. Klasifikasi Menurut Groves (2001), orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan familia Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut : Kingdom

   EMBED


Share

Transcript

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orangutan (Pongo pygmaeus) 1. Klasifikasi Menurut Groves (2001), orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan familia Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut : Kingdom Phylum Subphylum Classis Ordo Familia Genus Species : Animalia : Chordata : Vertebrae : Mamalia : Primata : Homonidae : Pongo : Pongo pygmaeus Pongo abelii Gambar 2.1. Orangutan dan anaknya (Pongo pygmaeus) (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 5 6 2. Morfologi Orangutan (Pongo pygmaeus) Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di pohon dan orangutan dewasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: tubuh besar dengan berat berkisar antara kg, tubuh ditutupi oleh rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor, orangutan jantan pada kedua pipinya terlihat ada tonjolan, dan ukuran tubuh yang jantan dua kali lebih besar dari pada yang betina (Gambar 2.2). Perbedaan antara orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) adalah pada orangutan Sumatra, warna rambut lebih pucat seperti ginge (jahe), dan rambutnya lebih lembut dan lemas. Kadang-kadang mempunyai bulu putih pada mukanya (Galdikas, 1986). (A) (B) Gambar 2.2 : Orangutan (Pongo pygmaeus ) (Sumber: Dokumentasi Pribadi) Keterangan gambar: A. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) B. Orangutan sumatra (Pongo pygmaeus abelii) 3. Habitat dan Penyebaran Orangutan (Pongo pygmaeus) Menurut Rijksen, (1978) sisa prasejarah orangutan dapat ditemukan di gua-gua bagian selatan China, Vietnam utara dan Sumatera. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa penyebaran hewan ini lebih luas pada masa lampau, bahkan mungkin meliputi 7 seluruh Jazirah Asia Tenggara (Dataran Sunda). Orangutan hidup di hutan tropik dataran rendah, rawa-rawa, sampai hutan perbukitan dengan ketinggian 1500 mdpl. Pada umumnya, di hutan Kalimantan orangutan hidup di hutan primer, dan hutan sekunder. Namun seiring adanya kerusakan hutan, orangutan diidentifikasi berada di pinggiran pemukiman. Selanjutnya Galdikas (1986) menjelaskan bahwa saat ini habitat orangutan dapat dikategorikan sebagai habitat in situ (hutan alam) dan habitat ex situ (hutan binaan/rehabilitasi dan reintroduksi, kebun binatang, dan lain sebagainya). 4. Prilaku Orangutan (Pongo pygmaeus) Utami (1991), menyatakan bahwa orangutan merupakan satwa diurnal dan arboreal. Orangutan dewasa pada umumnya bangun tidur sekitar pukul WIB dan tidur kembali sekitar pukul WIB. Beberapa saat setelah bangun kegiatan hariannya dimulai dengan mengeluarkan kotoran di luar sarang. Jika di sekitar sarang tercium bau khas kotoran dan urine berarti orangutan telah memulai perilaku hariannya, dan bila terjadi sebaliknya berarti orangutan masih berada di sarangnya. Selanjutnya orangutan akan menuju sumber makanan yang terdekat. Jika pohon tempat bersarang tersebut juga merupakan pohon pakan, maka orangutan akan langsung makan di pohon tersebut. Setelah itu aktivitasnya berkisar antara makan, istirahat, bergerak dan social 5. Perlindungan Fauna, khususnya primata, merupakan kekayaan alam yang harus dijaga kelestariannya, sangat potensial untuk dimanfaatkan dan mempunyai daya tarik 8 sendiri bagi kehidupan manusia, akan tetapi masih ada tindakan manusia yang kurang ramah lingkungan dan dapat mengganggu kelestarian fauna. Pemerintah selalu mengusahakan adanya tindakan preservasif dan konservasif dari masyarakat. Melalui undang-undang tentang konservasi lingkungan, masyarakat diharapkan semakin paham akan pentingnya usaha penyelamatan fauna dari kepunahan. Dalam Bab V Undang-Undang Konservasi Lingkungan Tahun 1990, tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, Pasal 21 Ayat 2, dinyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk: a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. Memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan, atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. Sedangkan dalam Pasal 22, dinyatakan: 9 a) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. b) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah. B. Cacing Parasit Parasit adalah organisme yang hidup dari adanya organisme yang lain. Dengan demikian, parasit tidak hanya bertempat tainggal dan mendapat makanan dari hospes, bahkan juga mendapat perlindungan dan pemeliharaan. Kehidupan sebagai parasit ini, berhubungan dengan keadaan organisme tersebut yang tidak mampu mengadakan sintesis untuk makanan. Sebagai contoh adalah parasit dalam usus manusia yang memerlukan asam amino, peptida lemak dan gula sederhana, yang tidak dapat dihasilkan sendiri. Tanpa substansi tersenut parasit akan mati. Jadi parasit mutlak memerlukan hospes, tanpa hospes mereka akan punah. Sebaliknya hospes tanpa parasit hidupnya lebih baik. Beberapa contoh hewan parasit adalah Protozoa, Plathyhelmintes, Nematoda dan sebagian Arthropoda. Tergantung dari mana parasit mengambil makanan dari hospes maka, parasit dapat dibedakan menjadi dua jenis parasit yaitu ectoparasit yaitu parasit yang melekat pada permukaan tubuh organisme seperti kulit dan rambut dengan perlengkapan alat penghisap atau alat pengait, yang di gunakan untuk 10 menggigit, memotong kulit dan mengambil cairan tubuh hospes seperti kutu, lintah dan pacet. Sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di organ tubuh inang seperti saluran cerna, hati, kantung empedu, jantung dan saluran pernapasan seperti cacing dan protozoa. Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad-jasad yang hidup untuk sementara atau tetap di dalam atau pada permukaan jasad lain dengan untuk mengambil makanan dan mempelajari hubungan antara jasad-jasad tersebut dengan inangnya (Simangunsong, 1986). Helmintologi adalah ilmu cabang dari parasitologi, yang dalam bidang kedokteran dikenal sebagai ilmu yang mempelajari infeksi kecacingan pada manusia, apakah itu menyangkut infeksi kecacingan, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi kecacingan, dampak yang ditimbulkan oleh infeksi karena cacing, serta upaya pencegahan dan pengobatan infeksi kecacingan tersebut. Helmintologi, diadopsi dari kata helmintos yang artinya cacing, dan logos yang artinya ilmu. Sementara parasitologi berasal dari kata parasitos yang artinya organisme yang mengambil makan, dan logos yang artinya ilmu, telaah. Dalam kaitan dengan masalah kesehatan, maka parasitologi medik mempelajari parasit yang menghinggapi manusia dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian (Rasmaliah, 2001). 11 Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah parasit sehingga mampu berkembang serta mencapai kematangan seksual tergantung pada (a) kesempatan hospes berkenalan dengan parasit, (b) biologi parasit, dan (c) tingkat kerentanan hospes. Tiap parasit memiliki sifat khusus dalam daur hidupnya dan kemampuan dari parasit untuk menghasilkan keturunannya. Parasit akan bertahan tergantung pada jumlah telur yang dihasilkan, panjang waktu menghasilkan telur dan jumlah telur yang dihasilkan setiap hari (Subronto dan Tjahajati, 2001). Helminth (cacing) diklasifikasikan dalam kingdom animalia yang terdiri dari tiga filum, yaitu Platyhelmintes (cacing pipih), Nemathelmintes (cacing gilig), dan Acanthocephala. filum Platyhelmintes di bagi mejadi tiga kelas yaitu Turbellaria, Trematoda dan Cestoidea, sedangkan Nemathelmintes memiliki satu kelas yaitu Nematoda (Radiopoetro, 1986). Hewan-hewan yang termasuk filum Platyhelmintes, Nemathelmintes, dan Acanthocepala memiliki ciri-ciri bertubuh memanjang, simetri bilateral, dengan struktur tubuh primitif. Tidak ada yang bersifat metameri dan benyak yang hidup sebagai parasit. 1. Filum Plathyhelmintes Cacing daun ini bersifat triploblastik, tetapi tidak berselom. Ruang digesti berupa ruang gastrovaskular yang tidak lengkap. Cacing nemertial bertraktus digestivus lengkap. Cacing pita tidak mempunyai saluran digesti. Walaupun hewan-hewan itu bersimetri bilateral, namun mereka mempunyai system ekskretorius, saraf dan reproduksi. Sebagian anggota cacing daun itu hidup parasit pada manusia dan hewan. 12 Filum Platyhelmintes terdiri dari 3 kelas yaitu: a. Kelas Turbellaria Anggota turbelaria hidup mandiri dalam air tawar, air laut, atau di daratan yang basah, jarang yang hidup parasitis. Epitel bersilia, menyalurkan lendir. Tubuh berbentuk tongkat atau bentuk rabdit (Yunani, rhabdit = tongkat). Cacing-cacing golongan ini pada bentuk dewasanya, epidermisnya bercilia, yang tidak terdapat pada 2 kelas lainnya (Trematoda dan Cestoidea). Berdasarkan atas jumlah cabang pokok dari intestiniumnya, kelas Turbellaria menjadi 5 ordo: 1) Ordo: Acela. Ordo Acela memiliki ciri-ciri: tidak mempunyai intestinum, hidup di laut, jumlah speciesnya sedikit. Contoh: Aneparus suclatus. 2) Ordo: Alloeacela. Ordo Alloeacela memiliki ciri-ciri intestinum mempunyai satu cabang utama dengan cabang-cabang kecil (ceca) kelateral. Contoh: Baicalartia gulo. 3) Ordo: Polycladida Memiliki ciri-ciri intestinum mempunyai banyak cabang pokok dan semua anggotanya hidup di laut. Contoh: Limnostylocus bornencis (terdapat di Borneo). 4) Ordo: Rhabdocela Memiliki ciri-ciri intestinum sederhana dan lurus dan memiliki mulut pada ujung anterior, bersifat aquatis, makan secara phagocytose. Contoh: Alaurina couposita. 13 5) Ordo: Tricladida Intestinum mempunyai tiga cabang pokok, bersifat aquatis, terutama dalam air tawar, tapi ada juga yang hidup di air laut, dan ada beberapa species yang bersifat terrestrial. Contoh: Dugesia tigrina b. Kelas Trematoda 1) Deskripsi Cacing Trematoda Semua spesies trematoda yang berparasit pada ruminansia adalah Ordo Digenea. Bentuk tubuh trematoda pipih dorsoventral menyerupai bentuk daun dan tidak bersegmen. Dalam keadaan hidup cacing ini bertubuh relatif tebal. Bagian paling luar disebut tegumen, ujung anterior tubuh terdapat batil hisap (oral sucker) dan pada bagian ventralnya terdapat acetabulum (ventral sucker). Acetabulum terletak di sepertiga bagian anterior tubuh, namun posisi ini bervariasi menurut jenis trematoda (Bowman (1969), Fowler (1989), dan Kusumamiharja (1995)). Organ ini digunakan sebagai alat untuk menempel pada habitatnya dalam tubuh inang definitif. Sistem pencernaan diawali oleh bagian mulut yang dikelilingi oleh oral sucker, dilanjutkan ke posterior oleh otot faring, esofagus, usus yang biasanya bercabang dua menjadi saluran buntu yang disebut caeca. Sistem ekskretori terdiri dari gelembunggelembung yang merupakan kantung sederhana yang bentuknya bervariasi, biasanya terbuka pada bagian ekstremitas posterior tubuh. Bagian tersebut memiliki cabangcabang saluran menuju parenkim yang berakhir pada organ terminal yang disebut sel api (flame cell) (Simangunsong, 1986). 14 2) Taksonomi dan Klasifikasi Cacing Trematoda Berdasarkan perbedaan siklus hidupnya, kelas Trematoda terbagi atas dua ordo yaitu: a) Ordo Monogenea. Cacing isap yang mempunyai satu hospes dalam siklus hidup terutama bersifat terutama bersifat ectoparasit, hidup melekat pada permukaan tubuh hospes, yaitu pada Pisces, Amphibia dan Reptilia. Batil pengisap didaerah mulut umumnya tidak ada, sedang alat pengisap dibagian posterior umumnya ada. Dari tiap ovum menghasilkan satu bentuk dewasa. Contoh: Polystomium sp., Octobothrium sp. b) Ordo Digenea. Semua bersifat entoparasit yang spesifik pada berbagai organ, hidup dalam berbagai hospes. Dibutuhkan 2 (dua) hospes atau lebih untuk siklus hidupnya yang sempurna. Avertebrata merupakan hospes untuk stadium larva, sedang Vertebrata sebagai hospes untuk dewasa. Batil penghisap terdapat di sekitar mulut dan di bagian medio-ventral. Cacingcacing dewasa umumnya melakukan fertilisasi silang, tetapi jika hanya ada seekor cacing di dalam hospes, maka akan terjadi autofertilisasi. Kebanyakan bersifat hermaprodit, kecuali Schistosomatidae bersifat gonochoristis. Cacing-cacing ini merupakan parasit yang penting dalam ilmu kedokteran. Contoh: Fasciola hepatica, Schistosoma mansoni, Australorbis antiguensis. Banyak ditemukan di Asia dan Pasifik barat daya 15 Taksonomi dan klasifikasi cacing trematoda yang banyak ditemukan pada Primata menurut Bowman (1969), dan Fowler (1989) adalah Kingdom Animalia, Filum Platyhelminthes, Kelas Trematoda, Sub Ordo Digenea. famili dari Ordo Digenea adalah Paramphistomidae dengan Genus Paramphistomum. 3) Siklus Hidup Cacing Trematoda Cacing trematoda pada primata bersifat hermafrodit kecuali Schistosoma. Cacing ini memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual di dalam tubuh inang antaranya yaitu berbagai jenis siput di lingkungan aquatik. Untuk melengkapi siklus hidupnya trematoda membutuhkan inang antara berupa berbagai jenis siput menurut spesies trematoda. Pada umumnya distribusi jenis-jenis trematoda secara geografis tergantung pada distribusi spesies siput yang cocok. Paramphistomum dengan inang antara jenis siput Planorbis, Fasciola hepatica dengan inang antara jenis siput Lymnea truncatula dan Fasciola Gigantica dengan jenis siput Lymnea rubiginosa (Soulsby, 1982 dan Kusumamiharja, 1995). Habitat cacing dewasa di dalam saluran empedu (Fasciola sp.), pankreas (Eurytrema sp.), rumen (Paramphistomum sp.), atau saluran darah inang definitif (Schistosoma sp.) (Soulsby, 1982, Levine, 1990, Kusumamiharja, 1995). Cacing dewasa bertelur di dalam habitatnya kemudian menuju usus dan dikeluarkan bersama-sama tinja. Telur beroperkulum yang telah mengandung embrio kemudian menetas membebaskan mirasidium yang bergerak aktif dalam lingkungan akuatik dengan menggunakan silianya mencari dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh siput yang cocok kemudian berkembang menjadi beberapa stadium (menurut jenis 16 trematoda) secara aseksual. Lima sampai tujuh minggu setelah infeksi serkaria yang menyerupai berudu keluar dari tubuh siput dan berenang bebas kemudian kontak dengan tanaman di sekitarnya membentuk metasekaria. Perkembangan selanjutnya, serkaria membentuk kista pada tanaman atau rumput di area penggembalaan. Infeksi terjadi karena inang definitif memakan rumput yang terkontaminasi metaserkaria. Setelah termakan, metaserkaria mengalami ekskistasi membebaskan cacing muda dalam intestin. Kemudian cacing muda ini menembus intestin bermigrasi menuju kapsul hati dan akhirnya mencapai parensim hati. Setelah sekitar enam sampai delapan minggu cacing muda masuk ke dalam saluran empedu dan berkembang menjadi cacing dewasa hingga memproduksi telur. Pada dasarnya daur hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase kehidupan dimana dalam fase tersebut memerlukan hospes intermedier untuk perkembangannya. Fase daur hidup tersebut adalah sebagai berikut: Telur---meracidium---sporocyst---redia---cercaria metacercaria---cacing dewasa. 17 Dimana fase daur hidup tersebut sedikit berbeda untuk setiap spesies cacing Trematoda sporocyst cercaria dewasa(1) Telur meracidium sporocyst redia cercaria metacercaria dewasa(2) redia cercaria dewasa(3) redia cercaria metacercaria keterangan: (1) Schistosoma (2) Paragonimus (3) Clonorchis (4) Echinostoma dewasa(4) 18 2. Kelas Cestoidea a. Siklus Hidup Cacing Cestoda Siklus hidup cacing Cestoda berbeda tergantung jenisnya. Contoh: 1) T. Saginata dan T. Solium Proglotida gravida dalam usus manusia mengandung telur yang telah dibuahi. Telur keluar dari proglotida dan terbawa tinja. Di tanah embrio tumbuh dan di telan oleh inang. Dalam duodenum sapi atau babi embrio menetas, memasuki dinding usus, mengikuti peredaran darah ke hati, ke jantung dan seterusnya mengikuti peredaran darah besar dan di angkut oleh otot bergaris (paha, kista, interkostal, diafragma, pengunya, lidah dan sebagainya) dan menjadi kista yang di sebut cysticercus bovis (Taenia saginata) atau cysticercus sellulosae (T. solium). Kista itu berupa gelembung dan juga di sebut sebagai metacestoda. Manusia tertular cacing pita daging sapi atau cacing pita daging babi karena makan daging sapi atau daging babi mentah (setengah masak) yang mengandung sistiserkus. 2) Cacing pita pada herbivora dan ayam Siklus hidup C. Infundibilum dan M. expansa serupa dengan siklus hidup cacing pita pada manusia, hanya berbeda inang perantaranya. Cacing pita pada herbivora dan ayam menggunakan artropoda (kumbang atau tungau) sebagai inang perantara dan dalam tubuh inang perantara itu berbentuk sistiserkoid atau juga disebut kriptoserkoid. Sistiserkoid itu juga sebagai stadium metakrestoda yang tidak mengandung cairan seperti pada sisteserkus. 19 3) D. Latum (cacing pita lebar) Siklus hidup cacing pita lebar pada dasarnya serupa dengan siklus hidup cacing pita pada umunya, tetapi menggunakan insekta air (Cyclops sp.) sebagai inang perantara pertama, dan ikan air tawar kecil sebagai inang perantara kedua. Kadangkadang mennggunakan ikan air tawar yang lebih besar sebagai inag perantara ketiga. Siklop yang mengandung larva proserkoid ditelan ikan kecil. Kadang-kadang ikan kecil itu dimakan oleh ikan yang lebih besar. Dalam ikan yang terakhir ini, cacing pita muda tetap sebagai pleroserkoid. Anjing dan manusia tertular dengan cacing pita lebar karena makan ikan (inang perantara) secara mentah. Kelas Cestoidea di bagi atas 2 subkelas yaitu: subkelas Cestodaria dan subkelas Cestoda. Subkelas Cestodaria memiliki ciri-ciri tubuh (strobila) tidak bersegmen, tidak memiliki alat reproduksi tunggal, tidak memiliki tractus digestivus, oncospher mempunyai 10 kait, kebanyakan bersifat parasit pada ikan. Sedangkan subkelas Cestoda memiliki segment yang disebut proglatid, umumnya mempunyai satu alat reproduksi atau lebih, onchosper mempunyai 6 kait, subkelas cestoda memiliki 3 ordo yaitu: Pseudophyllidea, Cyclophyllidea, dan Tetraphyllidea. Spesies dari ordo Pseudophyllidea, Cyclophyllidea merupakan cacing yang bersifat parasit. b. Ordo Pseudophyllidea Ordo Pseudophyllidea memiliki ciri-ciri scolex umumnya mempunyai 2 bothria atau celah dan kadang-kadang terdapat 4 proboscis dengan kait, porus uterin pada permukaan proglottid yang datar, uterus mempunyai sebuah sacculus (kantung kecil) 20 dan vitellaria tersebar, ova bercapsula dan oncosper bersilia. Contoh: Diphyllobothrium cordatum, Diplogonoporus grandis, Ligula intestinalis. c. Ordo Cyclophyllidea Ordo Cyclophyllidea memiliki ciri-ciri scolex mempunyai 4 alat penghisap berbentuk mangkok dan mempunyai rostellum, porus uterin tidak ada, proglatid yang telah gravid akan terputus, ova tidak bercapsula dan oncosper tidak bersilia. Contoh: Taenia solium, Dipylidium caninum, Hymenelepsis nana. d. Ordo Tetraphyllidea Ordo Tetraphyllidea memiliki ciri-ciri scolex memiliki 4 bothridia, 4 alat penghisap (Proboscis) kadang-kadang dengan kait, porus uterin jarang ada dan vitellaria diffus terdapat di bagian lateral proglottid, ova tidak bercapsula, onchosper tidak bersilia, spesies bersifat parasit pada Pisces, Amphibia dan Reptilia. Contoh: Phyllobathrium dahrnii. Primata bertindak sebagai inang antara maupun inang definitif cestoda. Taksonomi dan klasifikasi cacing cestoda yang banyak ditemukan pada Primata menurut Bowman (1969), dan Fowler (1989) adalah sebagai berikut, Kingdom Animalia, Filum Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Ordo Cyclophyllidea dengan Famili Anoplocephalidae), Genus Bertiella, dan spesies Bertiella studeri. Selain itu terdapat juga Famili Anoplocephalidae dengan genus Hymenolepsis dengan species Hymenolepsis nana. 21 2. Filum Nemathelminthes Ciri-ciri umum: Tubuh berbentuk bulat panjang dan silindr