Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Geologi Regional Pegunungan Kulon Progo 2

Geologi Regional Kulon Progo

   EMBED

  • Rating

  • Date

    May 2018
  • Size

    237.8KB
  • Views

    8,884
  • Categories


Share

Transcript

  Geologi Regional Pegunungan Kulon Progo Stratigrafi Regional Pegunungan Kulon Progo Berdasarkan stratigrafi regional rangkaian Pegunungan Kulon Progo, dimulai dari yang paling tua sampai yang  paling muda. Menurut Van Bemmelen adalah sebagai berikut : 1. Formasi Nanggulan  Formasi Nanggulan menempati daerah dengan morfologi perbukitan bergelombang rendah hingga menengah dengan tersebar merata di daerah Nanggulan (bagian timur Pegunungan Kulon Progo). Secara setempat formasi ini juga dijumpai di daerah Sermo, Gandul, dan Kokap yang berupa lensa-lensa atau blok xenolit dalam batuan  beku andesit. Formasi Nanggulan mempunyai tipe lokasi di daerah Kalisongo, Nanggulan. Van Bemmelen menjelaskan  bahwa formasi ini merupakan batuan tertua di Pegunungan Kulon Progo dengan lingkungan pengendapannya adalah litoral pada fase genang laut. Litologi penyusunnya terdiri-dari batupasir dengan sisipan lignit, napal  pasiran, batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping, batupasir, tuf kaya akan foraminifera dan moluska, diperkirakan ketebalannya 350 m. Wilayah tipe formasi ini tersusun oleh endapan laut dangkal, batupasir, serpih, dan perselingan napal dan lignit. Berdasarkan atas studi Foraminifera planktonik, maka Formasi Nanggulan ini mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen. Formasi ini tersingkap di bagian timur Kulon Progo, di daerah Sungai Progo dan Sungai Puru. Formasi ini terbagi menjadi 3, yaitu : a. Axinea Beds    Axinea beds , yaitu formasi yang terletak paling bawah dengan ketebalan 40 meter, merupakan tipe endapan laut dangkal yang terdiri-dari batupasir, serpih dengan perselingan napal dan lignit yang semuanya berfasies litoral.  Axinea beds ini banyak mengandung fosil Pelecypoda. b. Yogyakarta Beds   Yogyakarta beds , yaitu formasi yang terendapkan secara selaras di atas  Axinea beds  dengan ketebalan 60 meter. Formasi ini terdiri-dari napal pasiran berselang-seling dengan batupasir dan batulempung yang mengandung  Nummulites djogjakartae . c. Discocyclina Beds    Discocyclina Beds, yaitu formasi yang diendapkan secara selaras di atas Yogyakarta beds  dengan ketebalan 200 meter. Formasi ini terdiri-dari napal dan batugamping berselingan dengan batupasir dan serpih. Semakin ke atas  bagian ini berkembang kandungan Foraminifera planktonik yang melimpah (Suryanto dan Roskamil, 1975) 2. Formasi Andesit Tua  Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Nanggulan. Litologinya berupa breksi volkanik dengan fragmen andesit, lapilli tuf, tuf, lapili breksi, sisipan aliran lava andesit, aglomerat, serta batupasir volkanik yang tersingkap di daerah Kulon Progo. Formasi ini tersingkap baik di bagian tengah, utara, dan barat daya daerah Kulon Progo yang membentuk morfologi pegunungan bergelombang sedang hingga terjal. Ketebalan formasi ini kira-kira mencapai 600 m. Berdasarkan fosil Foraminifera planktonik yang dijumpai dalam napal dapat ditentukan umur Formasi Andesit Tua yaitu Oligosen Atas.  3. Formasi Jonggrangan  Di atas Formasi Andesit Tua diendapkan Formasi Jonggrangan secara tidak selaras. Formasi ini secara umum,  bagian bawah terdiri-dari konglomerat, napal tufan, dan batupasir gampingan dengan kandungan moluska serta  batulempung dengan sisipan lignit. Di bagian atas, komposisi formasi ini berupa batugamping berlapis dan  batugamping koral. Morfologi yang terbentuk dari batuan penyusun formasi ini berupa pegunungan dan  perbukitan kerucut dan tersebar di bagian utara Pegunungan Kulon Progo. Ketebalan batuan penyusun formasi ini 250 -400 meter dan berumur Miosen Bawah  –   Miosen Tengah. Formasi ini dianggap berumur Miosen Bawah dan di bagian bawah berjemari-jemari dengan bagian bawah Formasi Sentolo (Pringgo Praworo, 1968:7). 4. Formasi Sentolo  Di atas Formasi Andesit Tua, selain Formasi Jonggrangan, diendapkan juga secara tidak selaras Formasi Sentolo. Hubungan Formasi Sentolo dengan Formasi Jonggrangan adalah menjari. Foramasi Sentolo terdiri-dari  batugamping dan batupasir napalan. Bagian bawah terdiri-dari konglomerat yang ditumpuki oleh napal tufan dengan sisipan tuf kaca. Batuan ini ke arah atas berangsur-angsur berubah menjadi batugamping berlapis bagus yang kaya akan Foraminifera. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. 5. Endapan Aluvial dan Gugus Pasir  Endapan Aluvial ini terdiri-dari kerakal, pasir, lanau, dan lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran  pantai. Aluvial sungai berdampingan dengan aluvial rombakan batuan vuokanik. Gugus Pasir sepanjang pantai telah dipelajari sebagai sumber besi. Geomorfologi Regional Pegunungan Kulon Progo  Menurut Van Bemmelen (1949, hlm. 596), Pegunungan Kulon Progo dilukiskan sebagai dome  besar dengan  bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai “Oblong     Dome” .  Dome  ini mempunyai arah utara timur laut  –   selatan barat daya dan diameter pendek 15  –   20 km dengan arah barat laut  –   timur tenggara. Gambar 1. Sketsa Fisografi Jawa (Van Bemmmelen, 1949) dan Citraan Landsat (SRTM NASA, 2004). Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh Lembah Progo, di bagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu.  GEOLOGI REGIONAL   II.1. Geomorfologi Regional   Menurut penelitian Van Bemmelen (1948), secara fisiografis Jawa Tengah dibagi menjadi 3 zona, yaitu :   1.   Zona Jawa Tengah bagian utara yang merupakan Zona Lipatan   2.   Zona Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan Zona Depresi   3.   Zona Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan Zona Plato   Berdasarkan letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang sangat luas yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan (Van Bemellen, 1948). Daerah ini merupakan daerah uplift  yang memebentuk dome  yang luas.  Dome  tersebut relatif berbentuk persegi  panjang dengan panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah utara - selatan, sedangkan lebarnya sekitar 20 km pada arah barat - timur. Oleh Van Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome .   Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi  beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu :   A.   Satuan Pegunungan Kulon Progo   Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100  –   1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 15 0    –   16 0 . Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatan dan menempati bagian barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini sebagian besar digunakan sebagai kebun campuran,  permukiman, sawah dan tegalan.   B.   Satuan Perbukitan Sentolo   Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit dan terpotong oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50  –   150 meter diatas permukaan air laut dengan besar kelerengan rata  –   rata 15  0 . Di wilayah ini, satuan perbukitan Sentolo meliputi daerah Kecamatan Pengasih dan Sentolo.   C.   Satuan Teras Progo   Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan disebelah timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan dan Kali Bawang, terutama di wilayah tepi Kulon Progo   D.   Satuan Dataran Alluvial   Satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke timur, daerahnya meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan sebagian Lendah. Daerahnya relatif landai sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk pemukiman dan lahan persawahan.   E.   Satuan Dataran Pantai   a.   Subsatuan Gumuk Pasir    Subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di sepanjang pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di pantai selatan ini adalah kali  Serang dan kali Progo yang membawa material berukuran besar dari hulu. Akibat dari proses  pengangkutan dan pengikisan, batuan tersebut menjadi batuan berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan aktivitas angin, material tersebut diendapkan di dataran pantai dan membentuk gumuk  –   gumuk pasir.    b.   Subsatuan Dataran Alluvial Pantai   Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di sebelah utara subsatuan gumuk pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir oleh kegiatan angin. Pada subsatuan ini tidak dijumpai gumuk - gumuk pasir sehingga digunakan untuk persawahan dan pemukiman penduduk.   II.2. Stratigrafi Regional   Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo merupakan tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat dan Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada pembagian tektofisiografi wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Yang mencirikan tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya gunung api purba yang timbul dan tumbuh di atas batuan  paleogen , dan ditutupi oleh batuan karbonat dan napal yang  berumur neogen.   Dalam stratigrafi regional mengenai daerah  fieldtrip , dibahas umur batuan berdasarkan  batuan penyusunnya, untuk itu perlu diketahui sistem umur batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut antara lain :   1.   Sistem eosen   Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung, napal, napal pasiran,  batu gamping, serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun moluska. Sistem eosen  ini disebut “  Nanggulan group ”. Tipe dari sistem ini misalnya di desa Kalisongo, Nanggulan Kulon Progo, yang secara keseluruhannya tebalnya mencapai 300 m. Tipe ini dibagi lagi menjadi empat yaitu “Yogyakarta beds”, “Discoclyina”, “Axiena Beds” dan Napal Globirena , yang masing - masing sistem ini tersusun oleh batu pasir, napal, napal pasiran, lignit dan lempung. Di sebelah timur ”Nanggulan group ” ini berkembang facies gamping yang kemudian dikenal sebagai gamping eosen yang mengandung fosil foraminifera, colenterata, dan moluska   2.   Sistem oligosen  –   miosen   Sistem oligosen  –   miosen  terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang memuncak dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang berupa letusan dan dikeluarkannya material  –   material piroklastik dari kecil sampai balok yang berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian material ini disebut formasi andesit tua, karena material vulkanik tersebut bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava andesit dan tuff andesit. Sedang pada sistem eosen , diendapkan pada lingkungan laut dekat pantai yang kemudian mengalami pengangkatan dan  perlipatan yang dilanjutkan dengan penyusutan air laut. Bila dari hal tersebut, maka sistem oligosen  –   miosen  dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan