Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy (avt) Dalam Mengembangkan Keterampilan Berbahasa Anak Tunarungu

PELAKSANAAN AUDITORY VERBAL THERAPY (AVT) DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERBAHASA ANAK TUNARUNGU Wagino & Ana Rafikayati (Dosen PLB Fip Unesa, & Guru Yayasan Aurica Surabaya,

   EMBED


Share

Transcript

PELAKSANAAN AUDITORY VERBAL THERAPY (AVT) DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERBAHASA ANAK TUNARUNGU Wagino & Ana Rafikayati (Dosen PLB Fip Unesa, & Guru Yayasan Aurica Surabaya, Abstract; The purpose of this study is to describe the implementation of the AVT which includes the planning phase, implementation phase, evaluation phase, the constraints encountered, efforts are made, and institutional support to the implementation of the AVT. This study used a qualitative approach to the type of qualitative descriptive study. Source of research data is all that is involved in the implementation of the Foundation Aurica AVT (chairman, habilitation coordinator, therapists, students, and parents). Data collection techniques by the method of interview, observation and documentation. Data analysis techniques with flow analysis techniques include data reduction stage, the data display and verification. The results show that AVT planning stages include a six-month target learning and planning sessions. AVT implementation phase starts with conditioning the Ling 6 sound and then proceed to develop the five aspects of the language in which AVT audition, language, speech, cognition and communication. AVT evaluation phase includes the planning session and a six-month progress report. Abstrak; Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan AVT yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, kendala-kendala yang dihadapi, upaya-upaya yang dilakukan, dan dukungan lembaga terhadap pelaksanaan AVT.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian adalah semua yang terlibat dalam pelaksanaan AVT di Yayasan Aurica (ketua yayasan, koordinator habilitasi, terapis, siswa, dan orang tua). Teknik pengumpulan data dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data dengan teknik flow analisis meliputi tahapan reduksi data, display data dan verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap perencanaan AVT meliputi target belajar per 6 bulan dan planning session. Tahap pelaksanaan AVT dimulai dengan conditioning dengan Ling 6 sound dan kemudian dilanjutkan dengan mengembangkan 5 aspek berbahasa dalam AVT yaitu audition, language, speech, cognition dan communication. Tahap evaluasi AVT meliputi hasil planning session dan laporan perkembangan per 6 bulan. Kata Kunci : Anak Tunarungu, Cochlear Implant, Auditory Verbal Therapy (AVT) Anak tunarungu akibat gangguan fungsi pendengaran cenderung mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara verbal, baik secara ekspresif (bicara) maupun reseptif (memahami pembicaraan orang lain). Keadaan tersebut menyebabkan anak tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar yang lazim menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi. Metode komunikasi yang digunakan anak tunarungu, yaitu melalui membaca ujaran (oral), melalui pendengaran (aural), bahasa isyarat (manual), dan dengan kombinasi ketiga cara tersebut (komtal) (Kurnaeni, 2007). Dalam pelaksanaanya, di sekolah-sekolah khusus anak tunarungu (SLB-B), metode komunikasi yang banyak digunakan antara lain metode oral, manual dan komtal. Output atau tamatan dari JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1 SDLB-B kebanyakan melanjutkan ke SMPLB-B dan SMALB-B. Mereka cenderung berada di lingkungan yang sama yakni lingkungan tunarungu. Sehingga keterampilan komunikasi mereka tidak bisa berkembang akibat kominikasi yang terjadi hanya terbatas di lingkungan mereka sendiri, padahal seharusnya anak tunarungu harus dibekali dengan kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan dunia luar yang mayoritas mendengar. Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan (output) program Auditori Verbal Therapy (AVT) di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup reguler . Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat (Robertson & Flexer, 1993, Goldberg, 1997 dalam Sari, 2010). Hal ini ditegaskan dengan hasil wawancara pada tanggal 27 maret 2011 kepada yayasan Aurica, diperoleh data bahwa ± 90 % tamatan (output) dari yayasan Aurica dapat berintegrasi di sekolah reguler. Sedangkan ± 10 % lagi melanjutkan ke SLB dikarenakan banyak faktor antara lain intelegensi anak rendah, keterlambatan deteksi ketunarunguan dan amplifikasi pendengaran, kurangnya peran serta orang tua dalam penerapan AVT dan faktor-faktor lainya. Hasil statistik dari program bayi mendengar (Infant Hearing Program) di Kanada menunjukkan bahwa mayoritas orang tua anak tunarungu lebih memilih Auditory Verbal Therapy (AVT) dalam mengajarkan komunikasi pada anak mereka. Dari 120 bayi tunarungu dalam program intervensi dini, 80 memilih Auditory Verbal Therapy (AVT), 7 memilih bahasa isyarat, 9 memilih komunikasi total dan 22 lagi memilih pendekatan komunikasi lainya (Robinson : 125). Auditory Verbal Therapy (AVT) adalah penerapan teknik, strategi, kondisi dan prosedur yang mempromosikan akuisisi optimal bahasa lisan melalui mendengarkan, yang menjadi kekuatan utama dalam memelihara perkembangan kehidupan pribadi, sosial dan akademik anak tunarungu. (Estabrooks 1994:2). Dalam pelaksanaanya, AVT harus difasilitasi dengan amplifikasi pendengaran baik melalui Alat Bantu Dengar (ABD) maupun cochlear implant sebagai modal untuk memperoleh akses auditory. Tetapi pada anak tunarungu sangat berat disarankan untuk menggunakan cochlear implant karena mereka tidak dapat memperoleh manfaat yang optimal dari ABD. Pelaksanaan AVT, modalitas yang digunakan adalah mendengar (aural) yang diperoleh dari ABD dan cochlear implant. Dalam AVT anak dibekali kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain yang mendengar. Sehingga hasilnya nanti anak dapat berkomunikasi secara verbal dengan orang lain seperti orang mendengar pada umumnya. Penelitian ini mendeskriptifkan tentang pelaksanaan AVT dalam mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna cochlear implant. Sebelumnya penelitian bertema sama pernah dilakukan oleh Miseri (2004) yang berjudul Pelaksanaan Metode Auditory Verbal Therapy dalam Mengembangkan Kemampuan Berbahasa Anak Tunarungu di Klinik AVT Parents Support Group Surabaya. Miseri membahas tentang gejala-gejala gangguan bicara pada anak tunarungu, pelaksanaan AVT, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan AVT dan peran serta orang tua dalam pengembangan bicara pada ATR dengan AVT. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Juyanti (2010) yang berjudul Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy bagi Anak Tunarungu di Lembaga Terapi Aurica Surabaya. Juyanti membahas tentang pelaksanaan AVT, kendala-kendala yang dihadapi, upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dan program-program yang mendukung terapi. Kedua hasil penelitian tersebut, ditemukan perbedaan dalam mendeskripsikan pelaksanaan AVT. Miseri membagi penelitian AVT menjadi tiga tahap (tahap 88 Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy.(87-110) persiapan, pelaksanaan, dan rekomendasi), sedangkan Juyanti mendeskripsikan pelaksanaan AVT secara keseluruhan tanpa memisah-misahnya menjadi tahapantahapan. Selain itu jika Miseri menganggap pemberian stimulasi pendengaran pada anak menjadi tahap persiapan AVT berbeda dengan Juyanti yang langsung conditioning berupa tes Ling 6 sound. Berpijak pada penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini menelaah lebih luas lagi dengan mendeskripsikan secara rinci tentang pelaksanaan AVT meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, kendala-kendala yang dihadapi dan solusi pemecahanya serta dukungan sistem yang terlibat dalam pelaksanaan AVT dalam mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna cochlear implant di yayasan Aurica Surabaya. Perbedaan penelitian ini dari penelitianpenelitian sebelumnya adalah jika penelitian terdahulu berfokus pada anak tunarungu pengguna ABD dan cochlear implant, di dalam penelitian ini subjek penelitian adalah pengguna cochlear implant, hal ini dikarenakan subjek penelitian dalam penelitian adalah anak tunarungu sangat berat yang kurang memperoleh manfaat jika hanya menggunakan ABD. Fokus umum dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pelaksanaan Auditory Verbal Therapy (AVT) dalam mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna cochlear implant di Yayasan Aurica Surabaya?, yang secara rinci dijabarkan dalam fokus kecil diantaranya; (1) Bagaimanakah tahap perencanaan AVT?, (2) Bagaimanakah tahap pelaksanaan AVT?, (3) Bagaimanakah tahap evaluasi AVT?, (4) Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan AVT di Yayasan Aurica Surabaya?, (5) Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi?, (6) Bagaimanakah dukungan sistem lembaga terhadap pelaksanaan AVT di Yayasan Aurica Surabaya?. Adapun tujuan umum penelitiannya adalah mendeskripsikan pelaksanaan Auditory Verbal Therapy (AVT) dalam mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna cochlear implant di Yayasan Aurica Surabaya. METODE Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau fenomena-fenomena apa adanya. Lokasi penelitian ini bertempat di Yayasan Aurica Surabaya yang beralamat di Margorejo Indah III/A-408 Surabaya. Lokasi penelitian relatif mudah dijangkau baik dengan kendaraan umum. Pemilihan lokasi ini karena yayasan Aurica memiliki keunggulan-keunggulan sebagai berikut: (1) Yayasan Aurica adalah tempat terapi di surabaya yang menggunakan Auditory Verbal Therapy (AVT), (2) Yayasan Aurica berdiri sejak tahun 1999 dengan nama Klinik AVT Parents Support Group yang kemudian berganti nama Yayasan Aurica pada tahun Berdasarkan hal tersebut tentunya Yayasan Aurica memiliki banyak pengalaman dalam melakukan habilitasi terhadap anak tunarungu, (3) Yayasan Aurica melakukan koordinasi yang baik dengan orang tua, audiolog dan rumah sakit setempat sehingga pelayanan pada anakanak tunarungu menjadi lebih menyeluruh. (4) Sudah banyak anak tunarungu lulusan Aurica yang dapat bersekolah di sekolah regular, (5) Yayasan Aurica memberikan izin untuk mengadakan penelitian di tempat tersebut dan bersedia untuk memberikan informasi. Subjek atau sumber penelitian adalah anak tunarungu pengguna Cochlear Implant dan melakukan terapi di Yayasan Aurica, dan ketua yayasan, koordinator habilitasi, orang tua dan para terapis Yayasan Aurica untuk melengkapi data-data yang lain terutama kendala-kendala yang dihadapi, upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani kendala-kendala dan dukungan sistem lembaga terhadap 89 JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1 pelaksanaan AVT. Teknik pengumpulan datanya; (1) Wawancara ditujukan pada ketua yayasan, koordinator habilitasi dan para terapis Yayasan Aurica; (2) Observasi digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung ke sumber data. Observasi digunakan untuk melihat secara langsung pelaksanaan AVT (meliputi : materi yang diberikan, teknik yang digunakan, alat dan alokasi waktu). Jenis teknik observasi yang digunakan adalah observasi partisipan jadi peneliti mengamati dan ikut aktif dalam pelaksanaan terapi secara langsungn, (3) Dokumentasi digunakan untuk memperoleh informasi tentang data anak (meliputi hasil tes pendengaran dan hasil mapping), perencanaan program (meliputi planning session dan Target belajar per 6 bulan), dan evaluasi (meliputi hasil planning session dan Laporan perkembangan per 6 bulan). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data (flow model) Miles dan Huberman. Analisis data Miles dan Huberman terdiri atas tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Sugiyono, 2009 : 246). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan berikut ini ditulis berdasarkan hasil pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi kepada reponden (sumber data). Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan dideskripsikan secara kualititatif dan dikategorikan sesuai dengan tujuan penelitian. Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy (AVT) dalam mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna cochlear implant di yayasan aurica Surabaya meliputi : Tahap Perencanaan Auditory Verbal Therapy (AVT) Merencanakan program untuk anak perlu memperhatikan banyak hal. Faktorfaktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan program AVT diantaranya adalah sebagai berikut; (1) Usia anak dideteksi mengalami gangguan pendengaran dan usia penyediaan stimulasi pendengaran diberikan. Deteksi dan penyediaan stimulasi pendengaran sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Ada penekanan kuat bahwa anakanak tunarungu harus sedini mungkin mendapatkan masukan bahasa untuk tujuan pencegahan atau remediasi keterlambatan (Ramkalawan dan Davis, 1992; White, 1987; Itano dkk, 1998) dalam Nicholas dan Geers (2006). Jika gangguan pendengaran tidak segera terdeteksi dan diintervensi, bagian dari otak yang memproses sinyal auditori akan gagal menerima stimulasi dan perkembangan otak akan terhenti secara permanen (Regy, 2008). Dalam rangka memanfaatkan masa keemasan golden periode dari neurologis dan perkembangan bahasa, identifikasi gangguan pendengaran, penggunaan amplifikasi yang tepat dan teknologi kedokteran dan stimulasi pendengaran harus dilakukan sedini mungkin (Clopton dan Winfield, 1976; Johnson dan Newport, 1989; Lennenberg, 1967; Marler, 1970; Newport, 1990) dalam Slemenda (2008). Diagnosis dini, intervensi audiologi dan pendidikan sebaiknya dilakukan pada usia 6 bulan, karena sangat penting untuk memanfaatkan periode perkembangan optimal otak pendengaran (JCIH, 2007; Sharma dkk, 2005; Itano dkk,1998) dalam Dornan dkk (2009:62). Hal ini serupa dengan bukti yang ditemukan Moeller (2000) yang menyatakan bahwa banyak anak-anak dengan gangguan pendengaran sensorineural mencapai kemampuan bahasa yang sama dengan anakanak mendengar lainya jika layanan intervensi yang komprehensif diberikan pada usia 6 bulan. Penanaman cochler implant (sebagai alat penstimuli pendengaran) harus dilakukan pada usia dini, Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang melakukan implantasi koklea lebih dini menunjukkan perkembangan bahasa lebih cepat dibandingkan anak-anak yang di implant pada usia lebih dewasa. Selain itu, implant di usia dini juga memiliki keuntungan dalam peningkatan pengalaman pendengaran dan bahasa lisan selama periode perkembangan emas (Svirsky dkk, Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy.(87-110) dalam Nicholas and Geers, 2006 ). Jadi kapan anak dideteksi mengalami gangguan pendengaran dan kapan stimulasi pendengaran disediakan sangatlah mempengaruhi hasil habilitasi. Jika anak didiagnosis dan distimulasi terlambat, tentu program yang dirancangkan akan jauh terlambat dari umur kronologisnya karena program AVT disesuaikan dengan usia mendengarnya (setelah cochlear implant diaktifkan), bukan usia kronologisnya (dimulai saat kelahiran). Meskipun umur kronologis anak sudah 12 tahun, tetapi jika usia pemakaian implan baru 3 bulan, program AVT yang direncanakan adalah usia 3 bulan bukan 12 tahun. Selain itu, anak juga telah melewatkan periode kritis otak pendengaran padahal periode tersebut sangat penting karena periode tersebut adalah masa paling peka dari otak pendengaran anak dalam menerima stimulus pendengara. Merujuk pada data (D.PC.DA) diketahui bahwa ST didiagnosis sejak 17 bulan sedangkan pemakaian cochlear implant dilakukan pada usia 2 tahun 2 bulan. ST memiliki potensi untuk dikembangkan kemampuan berbahasanya secara optimal karena ST didiagnosis dan intervensi berupa amplifikasi pendengaran secara dini yakni tidak melebihi usia 3 tahun; (2) Sisa Pendengaran; Hasil dari AVT juga dipengaruhi sisa pendengaran yang dimiliki anak. Sisa pendengaran merupakan kemampuan dengar yang masih dimiliki anak tunarungu untuk mendengarkan bunyi. Jika bunyi yang diterima tidak utuh oleh anak (yang biasnya terjadi pada tunarungu sedang, berat dan sangat berat) tentunya komunikasi verbal tidak dapat berjalan dengan optimal. Kekurangan dengaran ini dapat berdampak pada bahasa ekspresif anak. Misalnya bunyi anak tidak bisa mndeteksi bunyi /s/ karena memang bunyi /s/ sendiri berada pada intensitas 40 db, akibatnya setiap kata yang mengandung huruf /s/ anak tidak bisa misalnya susu menjadi uu, atau pada kata bisa menjadi bia. Dewasa ini, telah ditemukan cochlear yang dapat meningkatkan kemampuan dengar profound hearing loss yang dapat membantu anak dalam berkomunikasi. Hal ini di perkuat oleh Osberger dkk (1993), Geers dan Moog (1994) dalam Nicholas dan Geers (2006) yang menyatakan bahwa bagi anak-anak dengan gangguan pendengaran sangat berat (profound hearing loss), riset telah mendokumentasi manfaat yang signifikan dari cochlear implant untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan bicara. Dengan cochlear implant anak tunarungu sangat berat (profound hearing loss) dapat mendengar sampai ± 30 db dimana suara pembicaraan mayoritas berada di intensitas tersebut. Dengan latihan mendengar yang komprehensif dan konsisten anak akan dapat mendengar semua bunyi percakapan. Merujuk pada data (D.PC.DA), setelah ST menggunakan coclear implant keluaran AB (Advanced Bionics Corporation) kemampuan mendengar ST meningkat dari 100 db menjadi db. Penyusunan program juga harus memperhatikan kecacatan yang dimiliki anak selain ketunarunguan. Kecatatan yang sekaligus dimiliki anak bisa berupa (tuna daksa, tuna grahita, autis. tunanetra dll) hal-hal tersebut sangat mempengaruhi hasil. Jika anak memiliki multi handicap tentu hasilnya tidak boleh disamakan dengan anak yang hanya murni tunarungu. Misalnya saja anak memiliki kecerdasan di bawah ratarata tentunya program yang diberikan tidak sebanyak anak dengan kognisi normal. Suppes (1974) dalam Sunardi dan Sunaryo (2007 : 147) menyatakan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Kognisi paling sedikit terdiri dari 5 proses, yaitu : persepsi, memori, pemunculan ide-ide, evaluasi dan penalaran. Anak dengan kognisi (kecerdasan) rendah akan mengalami hambatan dalam bahasa, persepsi, konsentrasi, memori, pemunculan ide-ide, evaluasi dan penalaran sehingga materi yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan anak. Jika pun diberikan target seperti anak normal hasilnya tidak akan setara dengan anak normal (tidak on track). Ini adalah akibat keterbelakanganya. Berdasarkan data (D.PC.DA), ST tidak memiliki kecacatan lain selain ketunarunguan. Dengan demikian tentunya perkembangan ST 91 JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1 tidak terhalang oleh faktor-faktor lain seperti kecerdasan rendah, kekakuan otot bicara dll. Merujuk pada data (D.PC.DA), Berikut ini adalah contoh program AVT pada RST. Meskipun ST telah berumur 2 tahun 2 bulan, tetapi karena ST baru memakai CI maka program AVT yang direncanakan harus dimulai dari awal (0 bulan) dimana dia baru mendengar. Program yang harus dirancang dari awal (0 bulan) meliputi aspek audition, speech, language dan communication sedangkan aspek cognition disesuaikan dengan umur kronologikal anak. (1) Merujuk pada data (D.PC.TB), target tersebut dibuat berdasarkan kurikulum judith I simser, St.Gabrielle, Auditory Skill Programme dan panduan keterampilan mendengar setelah memakai cochlear implant (oleh cochlear) dimana pada usia 0-6 bulan anak kurang lebih harus memiliki kompetensi tersebut. Meskipun ST sudah berusia 2 tahun 2 bulan, tetapi program yang direncanakan untuk ST harus dimulai dari 0 bulan. Hal tersebut dikarenakan meskipun anak tersebut sudah berusia 2 tahun 2 bulan, tetapi pengalaman auditori anak masih 0 karena ST tidak mendapatkan pengalaman auditori sejak lahir akibat gangguan pendengaran yang dialaminya, sehingga