Preview only show first 10 pages with watermark. For full document please download

Refrat Anestesiologi. Penilaian Jalan Nafas: Perkiraan Kesulitan Jalan Nafas

Refrat Anestesiologi Penilaian Jalan Nafas: Perkiraan Kesulitan Jalan Nafas Pembimbing: dr Rizal Zainal, SpAn Oleh : Amir shahmi ( ) Febi Stevi Aryani ( ) Felly Novelia ( )

   EMBED


Share

Transcript

Refrat Anestesiologi Penilaian Jalan Nafas: Perkiraan Kesulitan Jalan Nafas Pembimbing: dr Rizal Zainal, SpAn Oleh : Amir shahmi ( ) Febi Stevi Aryani ( ) Felly Novelia ( ) Ferawaty ( ) Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 2011 BAB I PEMBUKAAN Keahlian dalam manajemen jalan napas sangat penting dalam setiap spesialisasi kedokteran. Mempertahankan jalan napas yang paten sangat penting untuk oksigenasi dan ventilasi yang adekuat dan kegagalan dalam melakukannya walau dalam waktu yang singkat akan mengancam nyawa. Kegawatan respirasi adalah kecederaan terkait anestesi yang paling biasa terjadi diikuti kecedaraan dental. Tiga penyebab utama dari kegawatan respirasi adalah ventilasi inadekuat, intubasi esofagus dan intubasi trakea yang sulit. 17% dari kegawatan terkait pernapasan disebabkan kesulitan intubasi trakea. Faktanya, 28% dari semua kematian terkait anestesi disebabkan ketidakmampuan operator dalam memberikan ventilasi dan intubasi. 1 Kata-kata jalan napas dalam kegunaan sehari-hari merujuk kepada jalan napas atas yaitu rongga udara ekstrapulmoner yang terdiri dari hidung, mulut, faring, laring, trakea dan bronkus besar. Jalan napas yang sulit adalah kondisi dimana terdapat masalah dalam mewujudkan atau mempertahankan pertukaran gas melalui sungkup, jalan napas buatan atau keduanya. Kemungkinan adanya kesulitan jalan napas harus dikenali pasti sebelum tindakan anestesi akan memberi waktu untuk persiapan selengkapnya, pemilihan instrumen yang baik serta teknik dan partisipasi ahli yang berpengalaman dalam penanganan jalan napas sulit. 2 BAB II Penilaian Penilaian jalan napas sulit pada pasien harus dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang komprehensif. 1. Anamnesis Faktor pengobatan, anestesi atau operasi bisa menjadi indikasi jalan napas sulit. Beberapa kondisi yang mempersulit jalan napas ditunjukkan dalam Tabel 1. Faktorfaktor anestesi yang bisa menyebabkan jalan napas sulit antara lain edema, luka bakar, perdarahan, stenosis trakea atau esofagus, kompresi atau perforasi, pneumothorax atau aspirasi isi lambung. 3 Tabel 1- Kondisi-kondisi mempersulit jalan napas Congenital Pierre-robin syndrome Mikrognathia, Mikroglosia, sumbing palatum mole Treacher-collins syndrome Defek aurikular dan okular, hipoplasia malar dan mandibular Goldenhar s syndrome 4 Down s syndrome Pertumbuhan yang jelek atau tidaknya nasal bridge, makroglosia Kippel-feil syndrome Fusi kongenital dari berbagai tulang servikal, gerakan leher yang terbatas Goiter Kompresi trakea, deviasi laring atau trakea 5 Infeksi Supraglottis Croup Abses (intraoral, retrofaringeal) Ludwig s Angina Arthritis Rheumatoid arthritis Edema laring Distorsi jalan napas dan trismus Distorsi jalan napas dan trismus ankylosis sendi temporomandibular, artritis krikoaterinoid, deviasi laring, mobilisasi terbatas pada tulang servikal Ankylosing spondylitis Tumor jinak Cystic higroma, lipoma,adenoma,goiter Tumor ganas, cedera wajah, cedera servikal, trauma laring/ trakea Obesitas Akromegali Luka bakar akut Ankylosis tulang servikal, ankylosis sendi temporomandibular (jarang), mobilisasi terbatas pada tulang servikal Stenosis atau deviasi jalan napas, fiksasi laring atau jaringan sekitarnya karena infiltrasi atau fibrosis dari irradiasi Edema jalan napas, hematom, fraksi maksila, mandibula dan tulang servikal yang tidak stabil. Leher pendek dan tebal, jaringan tebal dalam orofaring, apnea tidur Makroglosia, prognathisme Edema jalan napas 2. Pemeriksaan fisik, umum dan regional Penilaian secara global harus meliputi: i. Kepatenan lubang hidung: periksa massa di dalam lubang hidung (contoh: polyp), deviasi nasal septum dll. ii. Bukaan mulut paling kecil: 2 jari diantara rahang atas dan bawah iii. Gigi: gigi seri atas dan gigi taring dengan atau tanpa overbite yang membatasi garis sumbu oral atau faring selama laringoskopi terutama orang dengan basis lidah yang besar, mereka bisa mendapat kesulitan selama laringoskopi langsung atau saat ventilasi bag-mask. Pada kondisi edentolous, di sisi lain, 6 lebih mudah dalam menyesuaikan poros namun obstruksi hipofaringeal oleh lidah dapat terjadi. iv. Langit-langit: langit-langit yang melengkung tinggi atau panjang dan mulut yang sempit mungkin akan menimbulkan kesulitan. v. Menilai kemampuan pasien untuk menonjol rahang bawah antara gigi luar seri atas (Prognathism). vi. Gerakan Temporo-mandibula bersama: terbatas karena adanya ankilosis, fibrosis, tumor, dll. vii. Pengukuran ruang submental (gambar 2) (hyomental / thyromental panjang idealnya seharusnya 6 cm). Gambar 2- Ruang submental viii. Leher pasien: Leher pendek dan tebal sering dikaitkan dengan kesulitan intubasi. Massa di leher, panjang leher, mobilitas leher dan kemampuan menanggapi posisi kaku harus diamati. ix. Suara serak/stridor atau dengan riwayat trakeostomi bisa disebabkan stenosis. x. Setiap penyakit sistemik atau bawaan yang membutuhkan perhatian khusus pada manajemen jalan nafas (Misalnya kegagalan pernapasan, penyakit arteri koronari signifikan, acromegaly, dll). xi. Penilaian umum habitus tubuh dapat memberikan informasi penting. xii. Infeksi saluran napas (misalnya epiglottitis, abses, croup, bronchitis, pneumonia). xiii. Kondisi fisiologis: Kehamilan dan obesitas. 7 Penting juga bagi operator untuk mengenali kesulitan menggunakan sungkup ventilasi karena sungkup ventilasi adalah sangat penting. Beberapa faktor spesifik yang mempengaruhi: i. Adanya jenggot: Kesulitan dalam memfiksasi sungkup/bisa juga diakibatkan adanya kelainan yang mendasari misalnya kanker rahang ii. Indeks massa tubuh: Pasien dengan BMI 26 Kgm 2-2 mungkin sulit untuk diventilasi dengan sungkup iii. Kurangnya gigi: Sulit untuk melakukan fiksasi iv. Umur dan mendengkur: Pasien yang berumur lebih dari 55 tahun dengan riwayat berdengkur kemungkinan terkait dengan berbagai derajat apnea tidur obstruktif dan sulit untuk diventilasi dengan sungkup v. Perhiasan yang dipakai dibibir, lidah, pipi, dagu, alis, mata dan telinga juga dapat menimbulkan kesulitan saat di ventilasi. 3. Tes khusus untuk penilaian A. Kriteria anatomi I. Sehubungan dengan lidah/ukuran faring Mallampatti test 2 : Klasifikasi Mallampati (gambar 3) berkorelasi dengan ukuran lidah ke ukuran faring. Tes ini dilakukan dengan pasien dalam posisi duduk, kepala dalam posisi netral, mulut terbuka lebar dan lidah dijulurkan secara maksimal. Pasien tidak seharusnya disuruh fonasi karena bisa menyebabkan kontraksi dan peninggian langit-langit lunak (soft palate) yang mengarah ke gambaran palsu. Klasifikasi dibagi berdasarkan kemampuan lidah menutupi visibilitas struktur faring dan dibagi menjadi tiga kelas: Kelas I : Langit-langit lunak, tenggorokan; uvula, anterior dan pilar posterior kelihatan. Kelas II : Langit-langit lunak, tenggorok dan uvula kelihatan Kelas III : Langit-langit lunak dan dasar uvula kelihatan. 8 Dimodifikasi Samsoon dan Young (1987) 3, klasifikasi kelas IV ditambahkan. Kelas IV : Hanya langit-langit keras terlihat. Langit-langit lunak tidak terlihat sama sekali. Gambar 3- Klasifikasi Mallampati Untuk menghindari tes positif palsu atau negatif palsu, pemeriksaan ini harus diulang dua kali. Metode penilaian ini secara tidak langsung mengevaluasi proporsionalitasnya karena tidak mungkin untuk mengukur ukuran dari bagian belakang lidah yang relatif terhadap kapasitas orofaring. Jika dasar lidah sebanding dengan orofaring berarti tidak ada faktor yang mengganggu dan pemaparan dari inlet glottis tidak akan sulit. Basis yang tidak proporsional dan dasar lidah yang besar sehingga menutupi laring menghalang pemaparan dari laring.4 II. Ekstensi Sendi Atlanto Oksipital (AO) Menilai kemampuan membuat posisi sniffing atau Magill untuk intubasi, sebagai contoh oral, faring dan aksis laring dalam garis lurus yang sejajar. Pasien diminta untuk menahan kepala, menghadap langsung ke depan, kemudian pasien diminta untuk mengekstensikan kepala secara maksimal dan pemeriksa memperkirakan sudut yang dilalui oleh penutupan permukaan gigi atas. Pengukuran dapat dilakukan cara sederhana yaitu perkiraan visual atau yang lebih akurat dengan menggunakan goniometer. 9 Gambar 4-Ruang Atlanto Oksipital Tingkatan dalam pengurangan sudut ekstensi dibagi menjadi: Gred I : 35 o Gred II : Gred III : Gred IV : 12 Sudut normal ekstensi kepala adalah 35 atau lebih (gambar 5) 5,6 Gambar 5- Sudut normal ekstensi kepala III. Ruang Mandibula i. Jarak Tiromental (tes Patil) 7 (gambar 6) merupakan jarak dari dagu ke tepi tiroid ketika pasien mengekstensikan lehernya secara maksimal. Pengukuran ini membantu dalam menentukan aksis laring yang jatuh di garis aksis faring ketika sendi atlanto oksipital dalam posisi ekstensi. Penyesuaian kedua sumbu sulit jika jarak TM ruas jari 3 atau 6 cm orang dewasa; 6-6,5 cm tidak terlalu sulit, sementara 6,5cm adalah normal. 10 Gambar 6- Jarak Tiromental ii. Jarak Sterno-mental : Savva (1948) 8 Perkiraan jarak dari tepi suprasternal ke dagu dengan menyelidiki korelasinya terhadap klasifikasi Mallampati, tonjolan rahang, jarak antara insisor dan jarak tiromental. Pengukuran ini dilakukan dengan cara kepala ekstensi secara maksimal dan mulut ditutup. Penilaian kurang dari 12 cm memprediksi sulit dilakukan intubasi. iii. Jarak Mandibulo-hioid 9 (gambar 7) Mengukur panjang mandibula dari dagu (mental) ke hioid yang memiliki nilai harus paling sedikit 4 cm atau tiga ruas jari. Diketahui bahwa laringoskopi menjadi lebih sulit karena peningkatan jarak vertikal antara mandibula dan tulang hyoid. Gambar 7- Jarak hioid dan dagu 11 iv. Jarak Inter-insisivus Ini adalah jarak antara gigi seri atas dengan gigi seri bawah(gambar 8). Normalnya adalah 4,6 cm atau lebih, sedangka 3,8cm dapat terjadi kesulitan jalan napas. Gambar 8- Insisivus Wilson dkk 10 mengembangkan sistem skor lain, dimana mereka membaginya menjadi 5 variabel yaitu berat,kepala, gerakan leher dan rahang, resesi mandibula, atau tidak adanya gigi buck. Skor resiko dikembangkan antara 0 sampai 10. Mereka menemukan bahwa semakin tinggi skor resiko, semakin besar akurasi prediksi dengan lebih rendah proporsi positif palsu. Arne dkk 11 membuat sistem penilaian baru yang berdasarkan analisis multifaktor. Selain indikator Wilson dkk di atas, penilaian ini juga meliputi ada atau tidak adanya patologi pada jalan nafas. Sensitivitas dan spesifitas sistem penilaian ini di atas 90%. Penilaian jalan nafas berdasarkan skor LEMON (gambar 9) Skor maksimal 10 poin dengan memberikan 1 point untuk masing-masing LEMON, berikut ini kriterianya : L = Look externally / penampilan luar (trauma wajah, gigi seri besar, jenggot atau kumis, lidah besar) E = Evaluate / Evaluasi aturan (jarak insisivus jarak-3 ruas jari, hyoid- mental jarak-3 ruas jari, tiroid-ke-mulut jarak-2 ruas jari) M = Mallampati (skor Mallampati 3). O = Obstruction / obstuksi (adanya kondisi seperti epiglottitis, peritonsillar abses, trauma). N = Neck mobility / mobilitas leher (keterbatasan mobilitas pada leher) 12 Pasien yang termasuk kelompok intubasi sulit memiliki skor LEMON yang lebih tinggi. 12,13 Gambar 9 : Metode penilaian jalan napas LEMON; 1 = jarak inter-insisor dengan jari, 2 = jarak hioid-mental dengan jari, 3 = jarak tiroid dan dasar mulut dengan jari B. Laringoskopi Langsung dan Bronkoskopi Fiberoptik Kesulitan dalam intubasi dapat diklasifikasikan menurut tampilan yang diperoleh selama laringoskopi (gambar 10) langsung ke 4 nilai. 4 nilai dari laringoskopi didefinisikan oleh Cormack dan Lehane (1984). 14 Tabel 2- Nilai visualisasi laringoskopi Gred I Visualisasi seluruh bukaan laring Gred II Visualisasi hanya komisura posterior dari bukaan laring Gred III Visualisasi hanya epiglotis Gred IV Visualisasi hanya soft palate Gred III dan IV adalah indikasi sulit intubasi Gambar 10- Gred visualisasi laringoskopi 13 Posisi optimal untuk keseteraan mulut, faring dan laring yang didapatkan dengan cara fleksi leher dan ekstensi kepala pada bagian atlantooksipital adalah sangat penting. 5,15 C. Penilaian Radiografi I. Foto polos tulang 16,17,18 Gambar bagian servikal lateral pasien dengan kepala dalam posisi neutral diperlukan untuk pengukuran-pengukuran berikut: Gambar 11- Foto polos kepala dan leher i. Jarak mandibula hioid- peningkatan jarak mandibula hioid mengindikasikan peningkatan kesulitan laringoskopi 9 ii. Kedalaman anterior posterior dari mandibula- White dan Kandler (1975) 18 telah membuktikan bahwa kedalaman posterior mandibula adalah pengukuran yang penting dalam menentukan tingkat kesulitan laringoskopi iii. Hubungan diantara sudut mandibula dan tulang hioid dengan servikal vetebra dan pengkelasan laringoskop- peningkatan kesulitan laringoskopi ditemukan bila mandibula cenderung menjadi lebih rostral dan tulang hioid menjadi lebih kaudal. Posisi sudut mandibular bagaimanapun lebih penting iv. Jarak atlantooksipital- jarak A-O adalah faktor utama yang membatasi ekstensi leher dan kepala. Lebih besar jarak A-O, lebih banyak ruang yang tersedia untuk mobilisasi kepala untuk laringoskopi dan intubasi 14 v. Jarak C 1 -C 2 laringoskopi adalah sulit dilakukan karena ketidakmampuan untuk mengangkat epiglottis dari dinding posterior faring disebabkan menyatu langsung dengan tulang hioid oleh ligamenhio-epiglotis II. III. Fluoroskopi untuk foto dinamis (mobilitas tulang belakang, malacia jalan napas, emfisema) Esofagogram (inflamasi, benda asing, massa ekstensif atau cincin vaskular) Gambar 12- Esofagogram IV. Ultrasonografi (menilai massa mediastinal anterior, limfadenopati, membedakan kista dengan massa dan sellulitis dari abses) V. MRI (anomali kongenital, kompresi jalan napas vaskular) VI. Intubasi video-optikal D. Kemungkinan Jalan Napas Sulit pada Pasien Diabetik Kemungkinan jalan napas sulit pada pasien diabetik dan non-diabetik adalah berbeda. i. Palm print 19,20 : pasien didudukkan; telapak tangan dan jari dicat dengan tinta biru, pasien kemudian diarahkan untuk mengecap seluruh tangan tadi pada sehelai kertas putih polos di atas permukaan yang keras. 0- Semua falang keliatan jelas 1- Tidak jelas pada interfalang 4 dan 5 15 2- Tidak jelas pada interfalang 2 sampai 5 3- Hanya ujung jari yang jelas keliatan ii. Prayer sign 19,21 : pasien diarahkan untuk merapatkan kedua telapak tangan Gambar 13- Prayer sign + Jika ada jarak antara kedua tangan - Jika tiada jarak antara kedua tangan E. Indikator sulit intubasi Tanda-tanda klasik yang menyebabkan operator sulit melakukan intubasi bisa disimpulkan seperti berikut: i. Mobilisasi fleksi ekstensi kepala dan leher yang jelek 22,23 ii. Malposisi mandibula dan adanya gigi yang menonjol iii. Jarak atlanto-oksipital yang kecil, pengecilan atau pengurangan ruang antara C1 dan oksiput 18 iv. Ukuran lidah yang besar- lebih terkait dengan rasio panjang anterior lidah dengan panjang dagu atau mandibula 3,25 F. Enam standar dalam mengevaluasi jalan napas i. Mobilitas temporomandibular 1 jari (gambar 14) Gambar 14- mobilitas temporomandibular 16 ii. Inspeksi mulut orofaring, klasifikasi Mallampati 2 jari (gambar 3) iii. Pengukuran jarak mento-hyoid (4cm) pada dewasa 3 jari (gambar 7) iv. Pengukuran jarak di antara dagu dan tiroid 4 jari v. Kemampuan memfleksikan kepala ke arah dada, mengekstensikan kepala tepat di atlantooksipital dan kepala dirotasi ke arah kanan dan kiri 5 pergerakan vi. Hidung simetris dan rongga hidung terbuka bebas. G. Penilaian cepat jalan napas i. Bisakah pasien membuka mulut dengan luas? Mengindikasikan pergerakan sendi temporo mandibular ii. Bisakah pasien mengeluarkan lidah secara maksimal? Inspeksi bagian posterior dari mulut iii. Kemampuan pasien mendorong rahang ke depan? Mengindikasikan kenyamanan manuver laringoskop iv. Bisakah pasien mengekstensikan kepala dan menggerakkan kepala ke kiri dan kanan? Mengindikasikan pergerakan leher Untuk pergerakan pada sendi atlantooksipital, arahkan pasien untuk meletakkan dagu di atas dada, kedua telapak tangan diletakkan di belakang leher sambil menekan leher ke bawah dan kepala digerakkan ke atas. 17 H. Penilaian jalan napas pada anak-anak Gambar 15- Perbandingan anatomi jalan napas dewasa dan anak-anak Penilaian jalan napas sulit pada pasien anak sama seperti orang dewasa yang dimulai dengan anamnesis dan seterusnya pemeriksaan-pemeriksaan yang komprehensif. Anamnesis Pertanyaan mengenai keluhan berdengkur, apneu, somnolen pada siang hari, stridor, suara serak dan pertanyaan terkait operasi sebelumnya atau terapi radiasi pada bagian leher harus dilakukan. Informasi ini bisa mengindikasikan hipoksemia dan hipertensi pulmonal. Anamnesis juga harus mempunyai informasi terkait riwayat anestesi terutama cedera orofaring, kerusakan gigi, intubasi trakealsadar dan penundaan operasi pasca anestesi. Pemeriksaan Fisik : Terfokus pada anomali wajah, kepala, leher dan tulang belakang Evaluasi ukuran dan bentuk kepala, gambaran kasar wajah; ukuran dan simetri dari mandibula, ada tidaknya bentuk patologis dari mandibula, ukuran lidah serta batas pergerakan (ROM) lidah, rahang, kepala dan leher. Ada tidaknya retraksi (suprasternal/infrasternal/sternal/interkostal) harus diperhatikan karena merupakan gejala obstruksi jalan napas. 18 Suara napas- bising inspirasi menandakan obstruksi jalan napas ekstratorakal sedangkan bising napas ekspirasi disebabkan lesi intratorakal. Bising pada inspirasi dan ekspirasi menandakan adanya lesi pada bukaan toraks. Memeriksa gas darah dan saturasi Oksigen penting untuk menilai kemampuan pasien berkompensasi dengan masalah jalan napas. Determinasi CO 2 transkutan. Banyak peneliti coba mengembangkan metode untuk memprediksi kesulitan laringoskopi pada kelompok umur ini. Metode-metode seperti itu telah diteliti pada orang dewasa tetapi mempunyai variabel sensitifitas pada anak-anak. Klasifikasi Mallampati dan Cormack and Lehane Grading Ukuran lidah yang relatif terhadap rongga mulut dan faring seperti yang ada dalam klasifikasi Mallampati dan hubungannya dengan telihatnya glottis pada laringoskopi yang ditetapkan oleh Cormack dan Lohane telah dinilai oleh Kopp et al (1995). 26 Klasifikasi Mallampati tidak memprediksi dengan akurat tampak glottis yang jelek sewaktu laringoskopi langsung pada pasien anak. Klasifikasi Mallampati yang cocok juga sulit didapatkan karena kurangnya kerjasama pasien bayi dan balita. Penilaian ruang mandibular adalah yang paling cocok untuk anak-anak di atas lima tahun. Nilai panjang tiomental, hiomental dan mandibular horizontal tidak berlaku pada pasien anak. Ini memberikan kekurangan kepada operatordan meningkatkan posibilitas jalan napas sulit yang tidak terduga. Maka dengan itu, pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik sangat diperlukan untuk mempersiapkan kemungkinan terjadinya jalan napas sulit. Beberapa tes bisa dilakukan untuk memprediksi jalan napas sulit pada pasien anak 27 : i. Foto polos- mengevaluasi nasofaring, faring, lesi subglotis dan trakea ii. CT scan dan MRI- mendeteksi atresia koanal, malformasi limfatik pada leher dan massa mediastinal iii. Endoskopi- menilai secara fungsional dan mendiagnosa kejadian patologi di nasofaring, supraglotis, subglotis dan glotis. 19 iv. Fluoroskopi- menilai masalah patologi dinamika. Contohnya disfungsional jalan napas terutama pada stridor, batuk dan disfagia v. USG- membantu evaluasi kelainan jalan napas organik dan fungsional. Menilai kondisi dinamis patologi tertentu vi. Penilaian Fungsi Paru- menyediakan informasi penting mengenai kepatenan jalan napas Banyak kondisi pengobatan dan operasi serta sindroma kongenital dikaitkan dengan jalan napas sulit pada pasien dewasa dan anak-anak. Tehnik untuk menilai jalan napas pada orang dewasa sudah diteliti tetapi tidak banyak penelitian yang dijalankan pada anak-anak. Tehnik yang bagus jika dilakukan pada pasien dewasa belum tentu bagus untuk pasien anak-anak. Intinya, kesulitan dalam membina rapport dengan pasien anak-anak menyebabkan operator susah mendapatkan informasi-informasi penting terkait masalah anestesi. 20 BAB III KESIMPULAN Tidak satu pun tes jalan napas yang mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mempred